HADITS DHA’IF DAN MAUDHU’ TENTANG
RAMADHAN
Oleh : Azwir B. Chaniago
Beberapa waktu menjelang
Ramadhan atau pada bulan Ramadhan sering kali kita mendengarkan hadits hadits dha’if (lemah), dha’if jiddan
(lemah sekali) bahkan ada juga yang maudhu’ (palsu) ataupun laa ashlalahu
(tidak jelas asal usulnya).
Hadits hadits yang demikian biasanya dibawakan oleh beberapa
guru kita dalam ceramah atau kajian tentang ramadhan dan keutamaannya. Kita
berprasangka baik, karena (1) Barangkali
tujuannya untuk memotivasi jamaah agar lebih bersemangat dalam beribadah dalam
bulan Ramadhan. (2) Mungkin juga, ustadz ini karena kesibukannya sehingga belum sempat meneliti
derajat hadits yang dibawakannya. (3) Bisa jadi juga itu hadits diterima dari
guru yang dikaguminya dan sangat
dipercaya sehingga dia tidak lagi berusaha mencari kejelasan bagaimana kedudukan hadits
yang dibawakannya.
Seharusnya, seseorang yang akan membawakan apalagi
mendakwahkan suatu hadits harus mencari tahu dulu kedudukan atau derajat hadits
itu sebelum didakwahkan. Dalam hal ini paling tidak ada tiga hal yang patut kita khawatirkan :
Pertama : Jika seseorang belum mengetahui
kedudukan suatu hadits lalu di dakwahkan kepada orang lain maka ini suatu yang
tercela. Bukankah semua yang kita ucapkan dan kita lakukan harus dipertanggung
jawabkan dihadapan Allah Ta’ala. Perhatikanlah firman-Nya :
“Wa laa taqfu maa laisa
laka bihii ‘ilmun, innas sam’a wal bashara wal fu-aada kullu ulaa-ika kaanaa
‘anhu mas-uulaa”. Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu
ketahui. Karena pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan
diminta pertanggung jawabannya. (Q.S al Isra’ 36).
Kedua : Jika seseorang belum mengetahui
kedudukan suatu hadits maka sangatlah terpuji jika dia mencari tahu kepada yang
lebih ‘alim sebelum mendakwahkan. Allah berfirman : “Fas’aluu ahladz dzikri inkuntum laa
ta’lamuun” Maka bertanyalah kepada orang orang yang berilmu jika kamu tidak
mengetahui. (Q.S al Anbiyaa 7).
Selanjutnya jikalau seseorang belum mengetahui kedudukan suatu hadits
lalu didakwahkan dan ternyata derajat hadits itu tidak shahih maka sekiranya
diamalkan oleh yang mendengarkan bisa jadi menyesatkan.
Ketiga : Jika seseorang sudah mengetahui
kedudukan suatu hadits itu dhaif ataupun
maudhu’ lalu disampaikan kepada orang
banyak tanpa menjelaskan derajat hadits maka ini suatu yang lebih tercela lagi.
Rasulullah telah mengingatkan dalam
sabda beliau dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda : “Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja maka hendaklah
dia mempersiapkan tempatnya di neraka. (H.R Imam Bukhari dan Imam Muslim).
Kalau kita perhatikan memang ada beberapa hadits yang tidak shahih tentang
shiyam dan Ramadhan, diantaranya adalah :
Pertama : Tidur orang
berpuasa ibadah
Keterangan ini disandarkan pada sebuah hadits yang cukup
masyhur yaitu : “Shamtush shaa-imi
tasbiihun. Wa nuumuhu ‘ibaadatun, wa du‘aa-uhu mustajabun, wa ‘amaluhu
mudhaa-‘afun” Diamnya orang yang berpuasa adalah tasbih, tidurnya adalah
ibadah, doanya mustajab dan amal dilipat gandakan. (H.R ad Dailami dari Ibnu
Umar).
Tapi ketahuilah bahwa para ahli hadits menilai sanad hadits ini adalah dha’if jiddan atau
lemah sekali. Jadi tidaklah bisa dijadikan hujjah. Syaikh al Albani dalam
Silsilah Hadits Dha’if dan Maudhu’ nomor 3784 menjelaskan bahwa kelemahannya
ada pada seorang diantara perawinya yaitu Rabi’ bin Badr. Dia adalah seorang
rawi yang ditinggalkan.
Melihat kepada matan atau redaksi hadits ini, bisa jadi
membuat sebagian orang yang berpuasa menjadi kurang semangat untuk melakukan
suatu aktivitas dan memperbanyak tidur. Bukankah tidurnya orang berpuasa adalah
ibadah yaitu dengan bersandar pada hadits ini. Tapi hadits ini tidak bisa
dijadikan hujjah atau sandaran karena sangat lemah.
Kedua : Doa berbuka
puasa.
Derajat hadits ini lemah. Diriwayatkan oleh Abu Dawud,
Baihaqi dan yang selainnya. Dari Mu’adz bin Zahrah bahwasanya sampai kepadanya
apabila Rasulullah berbuka beliau berdoa dengan doa : “Allahumma laka shumtu (wa bika amantu) wa ‘ala razqika afthartu”
Ya Allah untuk Engkaulah aku berpuasa (dan kepada Engkau aku beriman) dan atas
rizki Engkaulah aku berpuasa.
Ada tiga cacat dalam hadits ini sehingga dihukumi sebagai
hadits lemah, yaitu : (1) Mua’dz bin Zahrah adalah perawi majhul, tidak
dikenal. (2) Hadits ini mursal dhaif karena Muadz bin Zahrah seorang tabi’in
tapi meriwayatkan langsung dari Nabi. (3) Sanad nya mudhtharib, daya ingatnya
lemah.
Hadits ini dilemahkan oleh al Hafizh Ibnu Hajar (lihat
Takhrij al Adzkar dan juga dilemahkan oleh Syaikh al Albani dalam al Irwa’.
Doa berbuka puasa yang shahih adalah : “Dzahabazh zhamaa-u, wabtalatil ‘uruuqu, wa tsabatil ajru in
syaa-Allah”. Telah hilang rasa haus dan telah basah kerongkongan serta
telah tetaplah pahala, insya Allah. (H.R Abu Dawud, lihat al Irwa’ dan Shahih
Jami’ Syaikh al Albani).
Ketiga : Berpuasa
supaya sehat.
“Shuumuu tashihuu” Berpuasalah niscaya engkau akan
sehat.
Diriwayatkan ath Thabrani dalam al Ausath, Abu Nu’aim dalam
ath Thibun Nabawi dari jalan Muhammad bin Sulaiman bin Abu Dawud berkata :
Telah mengabarkan kepada kami Zuhair bin Muhammad dari Suhail bin Abi Shalih
dari bapaknya darii Abu Hurairah secara marfu’. Sisi cacatnya ada pada Zubair
bin Muhammad. Dia orang yang lemah.
Imam al Iraqi berkata dalam Takhrij Kitab al Ihya’ :
Diriwayatkan oleh ath Thabrani dalam al Ausath dan Abu Nu’aim dalam ath Thibun
Nabawi, dengan sanad lemah. Dengan agak berlebihan ash Shaghani dalam Maudhu’at
menyatakan bahwa ini adalah hadits palsu. (Lihat adh Dhaifah)
Secara lafazh memang
benar karena berpuasa akan membuat seseorang menjadi lebih sehat. Insya Allah.
Keempat : Berharap satu
tahun Ramadhan terus.
“Seandainya umatku mengetahui
apa yang terdapat dalam satu bulan Ramadhan maka sungguh mereka akan berharap
satu tahun itu Ramadhan penuh…”
Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah, Abu Ya’la, Ibnul Jauzi
dalam al Maudhu’at : Dari jalan Jarir bin Ayyub al Ghifari secara marfu’. Sisi cacatnya
ada pada Jarir bin Ayyub al Ghifari. Derajat hadits ini palsu.
Diantara ahli hadits yang memberi komentar adalah : (1) Abu
Nu’aim berkata : Dia (Jarir bin Ayyub) memalsukan hadits. (2) Imam Bukhari
berkata : Munkarul hadits. (3) Abu Zur’ah berkata : Munkarul Hadits. (4) An
Nasa’i berkata : (Jarir) ditinggalkan haditsnya. (5) Ibnul Jauzi berkata :
Hadits ini palsu (6) Imam asy Syaukani berkata : Hadits ini palsu. (Lihat al
Ahaditsul Maudhu’ah, Ustadz Ahmad Said Sabiq).
Kelima : Berbuka puasa tanpa udzur.
“Barangsiapa yang tidak
puasa satu hari pada bulan Ramadhan tanpa ada udzur yang diringankan oleh Allah
maka tidak akan bisa diganti oleh puasa satu tahun penuh seandainya dia
melakukannya”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah, at Tirmidzi, Abu
Dawud dan selainnya dari jalan Abu Muthawwis, dari bapaknya dari Abu Hurairah
secara marfu’.
Ibnu Hajar al Hafizh, berkata : hadits ini diperselisihkan
pada Habib bin Abu Tsabit yang ternyata memiliki tiga cacat. (1) Mudhtharib
atau goncang. (2) Abu Muthawwis adalah majhul atau tidak dikenal. (3) Dan
diragukan apakah bapaknya mendengar dari Abu Hurairah (Fathul Bari).
Syaikh al Albani
berkata : Diriwayatkan oleh Imam Bukhari secara mu’allaq yaitu terputus sanadnya dan hanya
disebut awal sanad saja. Imam Bukhari
mengisyaratkan kelemahan hadits ini.
Keenam : Puasa Ramadhan
tergantung zakat fithri.
“Bulan Ramadhan itu
tergantung antara langit dan bumi dan tidak diangkat (pahala puasa seseorang)
kepada Allah kecuali dengan zakat fithri”.
Ibnul
Jauzi membawakannya dalam al-Wahiyat seraya mengatakan: Tidak shahih, di
dalamnya terdapat Muhammad bin Ubaid al-Bashri. Dia adalah seorang majhul (perawi
yang tidak dikenal).
Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani berkata : Seandainya
hadits ini shahih maka zhahirnya menunjukkan bahwa diterimanya puasa Ramadhan
tergantung dengan mengeluarkan zakat fithri. (Seakan akan) barangsiapa yang
tidak mengeluarkan zakat fithri maka puasanya tidak diterima. Dan saya tidak
mengetahui seorang ulama pun yang berpendapat demikian. (Lihat Silsilah Hadits
Dhaif)
Ketujuh : Ramadhan
dibagi tiga fase.
“Syahrun
auwaluhu rahmatun, wa auwasathuhu maghfiratun, wa aakhirahu ‘itqun minannar”. (Bulan Ramadhan adalah) bulan yang awalnya
rahmat, pertengahannya ampunan dan akhirnya adalah pembebasan dari api neraka.
Hadits
ini adalah penggalan dari suatu hadits yang cukup panjang. Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Khuzaimah dalam
Kitab Shahihnya.
Hadits
ini juga diriwayatkan dari Abu Hurairah dengan redaksi sedikit berbeda yaitu : “Awal bulan Ramadhan adalah rahmat,
pertengahannya adalah maghfirah dan akhirnya adalah pembebasan dari neraka.”
Hadits
dengan matan ini dikeluarkan oleh al Uqaili, Ibnu ‘Adi, al Khatib , ad Dailami
dan Ibnu Asakir. Kedudukan hadits ini telah dijelaskan oleh para ahli hadits,
diantaranya : (1) Dalam sanadnya ada
Salam bin Sulaiman bin Siwar. Ibnu Adi berkata : Menurutku , haditsnya mungkar.
(2) Juga terdapat Maslamah bin Shalt dan Maslamah itu tidak dikenal. Abu Hatim
mengomentarinya : Haditsnya ditinggalkan.
(3) Syaikh Muhammad Nashiruddin
al Albani, seorang ahli hadits abad ini,
menyebutkan bahwa : Hadits ini mungkar. (Lihat Kitab Silsilah Hadits
Dha’if dan Maudhu’ jilid 4/1571)
Demikianlah
sebagian dari hadits hadits tidak shahih
yang berhubungan dengan shaum dan Ramadhan. (Penulis banyak mengambil manfaat
dari Kitab Silsilah Hadits Dha’if dan Maudhu’, Syaikh al Albani dan juga dari
tulisan Ustadz Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif dan juga tulisan Ustadz Abu Ubaidah Yusuf as-Sidawi)
Insya Allah ada manfaatnya bagi kita semua. Wallahu A’lam
(684)