IKHLAS DAN ITTIBA’ DALAM IBADAH
Oleh : Azwir B. Chaniago
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : “Wamaa khalaqtul jinna
wal insa illa liya’buduun” Dan tidaklah
Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku. (Q.S
adz Dzaariat 56).
Tentang ayat ini, Prof. DR. Haji Abdul Malik Karim Amrullah
yang lebih dikenal dengan nama Buya Hamka, berkata : Bahwasanya Allah
menciptakan jin dan manusia tidak ada guna yang lain, melainkan buat
mengabdikan diri kepada-Nya. Jalan yang lebih baik bagi manusia adalah
menyadari kegunaan hidupnya sehingga diapun tidak merasa berat untuk
mengerjakan ibadah kepada Allah. Disini Allah menjuruskan hidup kita, memberi
pengarahan bahwa tugas kita hanya satu saja yaitu mengabdi, beribadah.
Beribadah yaitu mengakui bahwa kita ini hamba Allah, tunduk kepada kemauan-Nya (Kitab Tafsir al Azhar
dengan diringkas).
Mengabdikan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah melalui
ibadah atau amal amal shalih yang dilandasi iman. Tentulah menjadi keinginan
setiap hamba untuk melakukan amal amal shalih sebaik mungkin sesuai petunjuk
dan ridha-Nya. Ada yang mengatakan : Kalau kita mencintai Allah maka beramallah
dengan amal yang dicintai Allah.
Para ulama tidak berselisih pendapat bahwa amal shalih yang
dicintai Allah harus berada pada dua hal
yaitu ikhlas karena Allah dan ittiba’ yaitu sesuai contoh yang diajarkan
Rasulullah Salallahu ‘alaihi wasallam.
Diantara dalil yang mencakup dua hal ini yaitu tentang ikhlas
dan ittiba’ adalah :
Pertama : Surat an Nisaa’ ayat 125.
Allah berfirman : “Waman ahsanu diinan mimman aslama
wajhahu, lillahi wahuwa muhsin” Dan
siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang orang yang ikhlas menyerahkan
dirinya kepada Allah, sedangkan dia mengerjakan kebaikan.
Syaikh as Sa’di berkata : Maksudnya, tidaklah ada seorangpun
yang paling baik agamanya daripada seorang yang menyatukan antara kepada Dzat
yang disembah yaitu penyerahan diri hanya untuk Allah yang menunjukkan akan
penyerahan hati, penghadapannya, kembalinya, keikhlasannya dan penghadapan
wajah serta seluruh anggota tubuh kepada Allah Ta’ala. Sedangkan diapun
disamping keikhlasan dan penyerahan diri tersebut dia mengerjakan kebaikan
yaitu mengikuti syariat Allah yang telah Allah utus rasul rasul dengannya dan
telah Allah turunkan kitab kitabNya dan Allah jadikan hal itu sebagai jalan
bagi makhluk makhluk-Nya yang terpilih dan pengikut pengikut mereka. (Kitab
Tafsir Karimir Rahman).
Kedua : Surat al Mulk ayat 2.
Allah berfirman : “Alladzi khalaqal mauta wal hayaata
liyabluwakum aiyukum ahsanu ‘amala, wa huwal ‘aziizul ghafuur” (Dialah) Yang menciptakan mati dan hidup
untuk menguji kamu siapa yang paling baik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa,
Mahapengampun.
Fudhail bin Iyadh menjelaskan
ahsanu amala, paling baik amalnya dalam ayat ini maksudnya adalah paling
ikhlas dan paling sesuai dengan syariat. Kemudian
ada yang bertanya : Apakah maksud yang paling ikhlas dan paling sesuai dengan
syariat ? Lalu beliau menjawab : Sesungguhnya amalan apabila ikhlas tetapi
tidak sesuai dengan syariat maka tidak diterima. Demikian pula apabila sesuai
dengan syariat tetapi tidak ikhlas maka amalan itu tidak diterima, hingga
amalan tersebut ikhlas dan sesuai dengan syariat. (Hilyah al Auliya’).
Imam Ibnul Qayyim antara lain menjelaskan tentang dua pokok
dalam ibadah yaitu ikhlas karena Allah dan mutaba’ah yaitu mengikuti apa yang
telah diajarkan dan dicontohkan Rasulullah. Dalam hal ini, kata beliau ada
empat keadaan, yaitu :
Pertama : Orang beramal dengan ikhlas dan mutaba’ah. Inilah yang paling baik dan
paling utama dalam beramal. Dan inilah bentuk amal yang diterima.
Kedua : Orang yang beramal tidak ikhlas dan tidak mutaba’ah yaitu orang yang ria dalam beramal dan tidak
mengikuti Rasul dalam cara beramal. Inilah keadaan yang paling buruk dalam
beramal. Amalnya tertolak.
Ketiga : Orang beramal dengan ikhlas tetapi tidak mutaba’ah. Dia memiliki niat
yang lurus dalam ibadah tetapi tidak dengan ilmu sehingga menyelisihi
Rasulullah dalam beribadah. Amalnya tertolak.
Keempat : Orang yang beramal tidak ikhlas tetapi mutaba’ah. Dia beribadah dengan
riya tapi cara beribadahnya benar yaitu mengikuti apa yang diajarkan
Rasulullah. Inipun amalnya tertolak.
Diantara rincian tentang ikhlas karena Allah dan ittiba’
yaitu sesuai dengan yang dicontohkan Rasulullah Salallahu ’Alaihi wasallam
adalah :
Pertama : Ikhlas karena Allah. Diantara dalilnya adalah :
Allah berfirman : “Inna anzalnaa ilaikal kitaaba bil
haqqi, fa’budillaha mukhlishan lahuddiin”. Sesusungguhnya Kami menurunkan
kitab (al Qur an) kepadamu (Muhammad) dengan (membawa) kebenaran. Maka
sembahlah Allah dengan tulus ikhlas beragama kepada-Nya (Q.S az Zumar 2).
Syaikh as Sa’di berkata : Tuluskanlah kepada Allah semua agamamu,
baik berupa syariat yang nampak dan syariat yang tidak nampak, yaitu Islam,
Iman dan Ihsan, dengan cara meng-Esakan Allah dengannya. Dan juga dengan niat
mengharapkan keridhaanNya, bukan niat niat apapun selainnya. (Tafsir Karimir
Rahman).
Allah berfirman : “Wamaa umiruu illaa liya’budullaha
mukhlishiina lahuddiin” Pada hal
mereka hanya diperintahkan menyembah llah dengan ikhlas mentaati-Nya semata
mata karena (menjalankan) agama. (Q.S al Baiyinah 5).
Tentang ayat ini, Syaikh as Sa’di berkata : Maksudnya adalah mencari Wajah
Allah dalam seluruh ibadah, baik yang zhahir maupun yang bathin serta ingin
mendekat disisi-Nya. Berpaling dan meninggalkan seluruh agama yang
berseberangan dengan agama tauhid. (Tafsir Karimir Rahman)
Diantara dalil tentang kewajiban ikhlas karena adalah juga
sebagaimana yang disabdakan Rasulullah : “Inallaha yuqbalu minal ‘amali illa
maa kaana lahu khaliisa wabtughiya bihi wajahuhu” Sesungguhnya Allah tidak
menerima dari semua jenis amalan kecuali yang murni, ikhlas untuk_nya dan untuk
mencari wajah-Nya. (H.R Imam an Nasa’i, dishahihkan oleh Syaikh al Albani).
Dalil yang lainnya hadits yang diriwayatkan dari Amirul
Mukminin, Abu Hafsh, Umar bin Khaththab, dia berkata : “Sami’tu rasulullahi yaquulu : Innamaal
a’malu binniyaati, wa innamaa likullim ri-in maanawa” Aku telah mendengar
Rasulullah bersabda : Sesungguhnya setiap perbuatan itu tergantung niatnya. Dan
sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan (H.R
Imam Bukhari dan Imam Muslim).
Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin berkata tentang sabda
Rasulullah tentang amal tergantung niatnya. Secara bahasa niat berarti maksud
dan tujuan. Adapun secara istilah syar’i, niat artinya adalah kuatnya hati
untuk melakukan suatu ibadah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala. (Syarah Hadits Arba’in).
Kedua : Sesuai dengan syariat atau ittiba’ kepada Rasulullah.
Diantara dalilnya adalah sabda Rasulullah Salallahu ‘alaihi
wasallam : “Man ‘amala ‘amalan laisa ‘alaihi amrunaa fahuwa raddun”. Barang
siapa melakukan suatu amalan yang tidak ada perintah dari kami maka (amalannya)
tertolak. (H.R Imam Muslim).
Berkata al Hafizh Ibnu Rajab al Hambali : Hadits ini secara
konteks menunjukkan bahwa setiap amalan yang tidak ada perintah syar’i di
dalamnya maka amalan tersebut ditolak. Sebaliknya dapat dipahami pula bahwa
setiap amalan yang ada perintahnya maka amalan tersebut diterima. Maksud perintah
disini adalah agama dan syariatnya.
Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin berkata : Ketahuilah
bahwa mutaba’ah, mengikuti perintah dan contoh dari Nabi, tidak akan tercapai
apabila amalan itu sesuai dengan tuntunan syar’i pada enam perkara :
Pertama : Sebabnya. Hendaklah amalan itu sesuai pada sebabnya. Apabila ada yang
melakuka ibadah karena satu sebab yang bukan dari syariat maka ibadahnya
tertolak. Misalnya ada orang yang setiap kali masuk rumah dia shalat dua rakaat
dan menjadikannya sebagai sunnah maka amalan
tersebut tertolak.
Kedua : Jenisnya. Misalnya ada orang yang berkurban dengan kuda, maka ibadah
kurbannya tertolak, tidak diterima, karena kurban dengan jenis kuda menyelisihi
syariat. Ibadah kurban hanya pada unta, sapi dan kambing.
Ketiga : Kadar dan ukurannya. Misalnya seorang berwudhu’ dengan
membasuh setiap anggota wudhu empat kali, maka yang keempat tertolak, karena
dia telah menambah kadar dan ukuran, yang seharusnya tiga kali.
Keempat : Tata caranya. Andaikata ada
orang yang shalat dan dia sujud sebelum ruku’ maka shalatnya batal, tidak
diterima karena ia tidak mengikuti tuntunan syariat dalam tata cara ibadah.
Kelima : Waktunya. Andaikata ada yang
shalat sebelum masuk waktunya maka shalatnya tidak diterima karena ia beribadah
pada waktu yang tidak ditentukan oleh syariat.
Keenam : Tempatnya. Andaikata seseorang melakukan ibadah i’tikaf bukan di
masjid, misalnya i’tikaf di sekolahan atau di rumah maka i’tikafnya tidak sah
karena tidak mencocoki syariat dalam hal tempatnya.
Ketahuilah saudaraku bahwa suatu ibadah yang dilakukan tapi
sebabnya, jenisnya, kadar dan ukurannya, tata caranya, waktunya dan tempatnya
tidak sesuai dengan tuntunan syariat maka itu namanya menyelisihi. Menyelisihi
Rasulullah Salallahu ‘alaihi wasallam. Kalau dalam beribadah kita tidak
mengikuti Rasulullah lalu petunjuk
ibadah siapa yang kita ikuti. Bukankah Rasulullah yang membawa risalah Islam
ini kepada kita. Bukankah beliau manusia yang paling tahu tentang cara cara
beribadah di dalam Islam dan wajib bagi kita untuk mengikuti beliau.
Sungguh wajiblah kita takut kalau beribadah tidak sesuai
dengan syariat, tidak ittiba’ atau tidak mengikuti cara yang diajarkan
Rasulullah Salallahu ‘alaihi wasallam. Ibadah kita bukan hanya sekedar tertolak
tapi lebih dari itu kita akan mendapatkan ancaman Allah.
Ingatlah bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman : “Fal yahdzaril ladziina
yukhaalifuuna ‘an amrihii an tushiibahum fitnatun au yushibahum ‘adzaabun
aliim” Maka hendaklah orang orang yang menyelisihi perintah Rasul-Nya takut
akan mendapat cobaan atau ditimpa adzab yang pedih. (Q.S an Nuur 63).
Semoga Allah memberi petunjuk dan kekuatan kepada kita semua
untuk selalu beribadah dengan ikhlas karena Allah Ta’ala dan ittiba’ yaitu
mengikuti cara yang diajarkan Rasulullah Salallahu ‘alaihi wasallam.
Mudah mudahan ada manfaatnya. Wallahu A’lam. (211).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar