HARI YANG LEBIH BERAT DARI PERANG UHUD BAGI NABI
Oleh : Azwir B. Chaniago
Setelah kaum kafir
Quraisy kalah total dalam perang Badr
melawan kaum Muslimin, maka pada tahun
ketiga hijriah mereka mempersiapkan
pasukan yang besar untuk
menyerang kaum muslimin di Madinah. Akhirnya memang terjadi perang
antara kafir Quraisy dengan kaum muslimin yang dikenal dengan perang Uhud.
Dalam perang Uhud ini Nabi dan para sahabat mengalami hari
yang sangat berat. Diantaranya adalah karena :
(1) Membelotnya 300 orang anggota pasukan kaum muslimin atas
hasutan dan provokasi tokoh munafik Madinah yaitu Abdullah bin Ubay bin Salul.
Pasukan kaum muslimin yang awalnya berjumlah 1.000 orang berkurang menjadi 700
orang dan harus berhadapan dengan 3.000 orang pasukan kafir Quraisy.
(2) Dalam perang ini ternyata pasukan kaum muslimin mengalami
kekalahan. Diantara penyebabnya adalah karena pasukan pemanah yang ditugaskan
Nabi, terburu buru meninggalkan posisinya untuk mengambil ghanimah. Akibatnya pasukan
kaum Muslimin kocar kacir dan tidak ada yang bersama Rasulullah dalam perang
itu kecuali Thalhah bin Ubaidilah dan Sa’d bin Abi Waqqash.
(3) Secara fisik Rasululah merasakan pula beratnya perang ini
karena beliau sendiri mengalami luka luka. Dalam satu riwayat disebutkan bahwa
sampai sebulan beliau masih merasakan sakit dari luka luka yang dialami.
Demikian beratnya peristiwa perang Uhud bagi Nabi dan kaum
Muslimin, lalu apakah ada hari yang lebih berat yang dirasakan Rasulullah
selain beratnya perang Uhud ?. Imam Bukhari meriwayatkan bahwa Aisyah radhiallahu ‘anha pernah bertanya
kepada Rasulullah Salallahu ‘alaihi wasallam : Ya Rasulullah, apakah engkau
pernah mengalami hari yang lebih berat dari (perang) Uhud ?. Beliau menjawab :
Pernah, lalu beliau mengisahkan tentang dakwah beliau bersama Zaid bin Haritsah
ke Tha’if.
Ketika dakwah Nabi di Makkah mengalami ancaman dan intimidasi
dari kafir Quraisy maka Nabi menaruh harapan kepada penduduk Tha’if agar masuk
Islam. Tapi pada saat berdakwah ke Tha’if ternyata mereka lebih buruk dari
Quraisy. Semua penduduk Tha’if berkumpul di pinggir jalan, laki, perempuan,
anak anak, orang tua, budak ataupun merdeka lalu melempari Nabi dengan apa saja
yang mereka dapatkan. Kaki beliau berdarah darah dan badan beliau penuh
kotoran.
Lalu beliau keluar dari Tha’if dengan membawa kesedihan yang
amat sangat. Beliau menuturkan : Aku tak lagi menyadari apa yang terjadi
kecuali sampai aku berada di dekat Qarn ats Tsa’alib. Ketika kuangkat kepalaku,
tiba tiba gumpalan awan menaungi. Aku dongkakkan pandanganku ternyata ada
Jibril memanggil.
Jibril berkata : Sesungguhnya Allah telah mendengar ucapan
kaummu kepadamu dan tanggapan mereka terhadapmu. Allah telah mengutus kepadamu
Malaikat (penjaga) Gunung untuk engkau perintahkan sekehendakmu terhadap
mereka.
Malaikat Gunung tersebut memberi salam kepada engkau dan
berkata : Wahai Muhammad, hal itu terserah padamu. Jika engkau mau aku akan
ratakan mereka dengan al Akhsyabain (dua bukit di Makkah). Namun Nabi menjawab
tawaran itu : Bahkan aku berharap kelak Allah munculkan dari tulang punggung
mereka kaum yang menyembah Allah semata dan tidak menyekutukan dengan sesuatu
pun. (Dari H.R Imam Bukhari dan Imam
Muslim).
Sungguh sangatlah banyak pelajaran yang bisa kita ambil dari
kisah ini, diantaranya adalah :
(1) Dari peristiwa ini kita mengetahui berapa penyabar dan
pemaafnya beliau meskipun telah disakiti oleh seluruh penduduk tapi tetap
memberi maaf kepada mereka. Bahkan beliau mendoakan agar keturunan penduduk
Tha’if yang zhalim ini akan menjadi orang orang yang menyembah Allah dan tidak
menyekutukan-Nya. Sebagai balasan kepada beliau maka Allah Ta’ala memberikan
pertolongan dan mengabulkan doa dan harapan beliau terhadap penduduk Tha’if.
(Diringkas dari Sirah Nabawiyah).
(2) Peristiwa ini juga memberi pelajaran yang sangat berharga
bagi kita semua yaitu jadilah pemaaf jika pada suatu waktu dizhalimi. Sungguh
memberi maaf adalah berat tetapi ini adalah
sikap yang mulia bahkan merupakan salah satu tanda orang yang bertakwa.
Allah berfirman : Allah berfirman : “Alladziina yunfiquuna fis sarraa-i wadh
dharraa-i wal kaazhimiinal ghaizha wal ‘aafiina ‘aninnaas. Wallahu yuhibbul
muhsiniin”. (Orang yang bertakwa yaitu) orang yang berinfak baik di waktu
lapang maupun di waktu sempit. Dan orang orang yang menahan amarahnya dan memaafkan
(kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat
kebaikan. (Q.S Ali Imran 134).
(3) Selanjutnya peristiwa ini adalah pelajaran yang amat
berharga pula bagi para juru dakwah yang terkadang menghadapi berbagai tantangan di
medan dakwah. Namun demikian tantangan yang dihadapi oleh Nabi bersama
sahabatnya dalam berdakwah sungguh jauh lebih besar dan lebih berat. Tapi
dengan kesungguhan dalam berdakwah, menjaga ketaatan dan memohon pertolongan
Allah akhirnya Dia memenangkan kaum muslimin.
Insya Allah ada manfaatnya bagi kita semua. Wallahu A’lam.
(725).
Xbhsisisusbbs7s7sgwgwyywywywyeyyeyy
BalasHapusTidak membantu tolong bantu saya
BalasHapus