MEMAHAMI MUSIBAH SECARA BENAR
Oleh :
Azwir B. Chaniago
Muqaddimah.
Semua manusia pasti akan diuji. Ujian itu bisa terhadap
dirinya, keluarganya, hartanya dan yang lainnya. Allah berfirman : “Dan Kami pasti akan
menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan
buah buahan. Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang orang yang sabar”. (Q.S al Baqarah 155)
Ketahuilah saudaraku bahwa semua keadaan yang diturunkan Allah kepada seorang hamba, termasuk ujian dan
cobaan, pastilah memiliki hikmah yang
sempurna. Bukan sesuatu yang sia sia. Allah berfirman : “Ya Rabb kami,
tidaklah Engkau menciptakan semua ini dengan sia sia. Mahasuci
Engkau, lindungilah kami dari adzab neraka” (Q.S Ali Imran 191)
Rasulullah bersabda : “Matsalul
mu’mini kamatsaliz zar’i, laatazaalur riihu tamiiluhu, walaa yazaalul mu’minu
yushiibuhul bala’. Perumpamaan seorang mu’min tak ubahnya seperti tanaman,
angin akan selalu meniupnya, ia akan selalu mendapat cobaan (H.R Imam Muslim).
Paling tidak ada tiga tujuan dari ujian, yaitu
:
Pertama : Untuk
diketahui apakah seseorang itu benar
benar beriman.
Allah berfirman : “Apakah manusia mengira mereka akan
dibiarkan hanya dengan mengatakan beriman, dan mereka tidak diuji ? (Q.S
al Ankabuut 2).
Syaikh as Sa’di dalam menafsirkan ayat ini, antara lain
menjelaskan bahwa : Dia (Allah) akan menguji mereka dengan kesenangan dan
kesengsaraan hidup, kesulitan dan kemudahan, hal hal yang membuat semangat dan
yang membenci, kekayaan dan kefakiran, dengan penguasaan musuh musuh terhadap
mereka pada saat tertentu serta berbagai cobaan lainnya. Sesungguhnya, kata
beliau, ujian dan cobaan bagi jiwa tak obahnya seperti alat tempa besi yang
memisahkan karat dan besi.
Kedua : Untuk diketahui siapa yang paling baik
amalnya.
Allah berfirman : “(Allah) yang menciptakan mati dan hidup
untuk menguji kamu, siapa yang lebih baik amalnya.” (Q.S al Mulk 2).
Dalam surat al Mulk ayat 2 diatas disebutkan kalimat “ahsanu
‘amala” yaitu amalan atau ibadah yang lebih baik. Imam Qadhi Iyadh menjelaskan
bahwa makna ahsanu ‘amala dalam ayat ini
adalah amalan yang ikhlas semata-mata karena Allah dan mengikuti
contoh yang diajarkan oleh Rasulullah.
Ketiga : Untuk menghapus sebagian dosa.
Ini adalah berita gembira untuk seorang hamba yang sedang
mendapat ujian dan mereka menerima dengan sabar. Rasulullah bersabda :
“Tidaklah seorang Muslim ditimpa keletihan, penyakit, kesedihan, gangguan,
kegundah gulanaan hingga duri yang menusuknya melainkan Allah akan menghapuskan
sebagian dari kesalahan kesalahannya” (H.R Imam Bukhari dari Abu Hurairah).
Jika kita lihat lebih jauh, maka ketiga tujuan maka tampak
dengan jelas bahwa ujian tersebut sebenarnya adalah bagian dari kasih sayang
Allah terhadap hambaNya. Sebab semua maksud ujian tersebut akan kembali kepada
kebaikan bagi hamba-Nya.
Tingkatan manusia
menghadapi musibah.
Dalam menerima musibah
manusia berada pada beberapa keadaan atau tingkatan. Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin
menjelaskan tentang hal ini :
Tingkatan pertama : Manusia yang mengerutu, mendongkol, tidak mau menerima. Ini direfleksikan dengan
hati yang tidak menerima, dengan lisannya berupa umpatan dan dengan anggota
badan seperti menampar nampar pipi sendiri, merobek robek baju dan yang
lainnya. Semua ini haram hukumnya karena menafikan kewajiban dan
perintah bersabar.
Tingkatan kedua : Bersabar atas musibah. Hal ini seperti ungkapan seorang
penyair : “Sabar itu seperti namanya, pahit rasanya. Akan tetapi hasilnya lebih
manis daripada madu”.
Manusia dalam tingkatan ini beranggapan bahwa musibah
tersebut sebenarnya berat baginya akan tetapi dia kuat menanggungnya. Dia tidak
suka musibah itu terjadi tetapi iman yang ada di hatinya menjaganya dari
menggerutu. Terjadi musibah atau tidak terjadinya musibah tidak sama
baginya. Perbuatan atau sikap sabar seperti itu wajib hukumnya
karena Allah Ta’ala memerintahkan untuk bersabar sebagaimana dalam firman-Nya :
Washbiruu, innallaha ma’ash shaabiriin” Dan bersabarlah.
Sesungguhnya Allah bersama orang orang yang sabar. (Q.S al Anfal 46).
Tingkatan ketiga : Ridha terhadapnya seperti keridhaan seseorang terhadap
musibah yang dialaminya dimana baginya sama saja, ada dan tidak
musibah tersebut. Adanya musibah tidak membuatnya sesak dan tidak (merasa)
berat menanggungnya. Sikap seperti ini
dianjurkan tapi bukan suatu kewajiban
menurut pendapat yang raajih.
Perbedaan antara tingkatan ini dan tingkatan kedua diatas
amat jelas. Sebab dalam tingkatan ketiga ini ada dan tidak adanya musibah sama
saja bagi orang yang mengalaminya sementara pada tingkatan kedua adanya musibah
dirasakan sulit baginya tetapi dia bersabar.
Tingkatan keempat : Bersyukur terhadap musibah. Ini merupakan tingkatan paling
tinggi. Hal ini dilazimkan oleh orang yang mengalaminya dengan bersyukur kepada
Allah Ta’ala atas musibah apa saja yang dialami.
Dalam hal ini dia mengetahui bahwa musibah ini merupakan
sebab atau sarana untuk menghapus semua keburukannya (dosa dosa kecilnya) dan
barangkali bisa menambah kebaikannya. Rasulullah bersabda : “Maa min
mushiibatin tushiibul muslima illa kaffarallahu bihaa ‘anhu hattasy syaukati
yusyaakuhaa” Tiada suatu musibah pun yang menimpa seorang muslim, melainkan
dengannya Allah hapuskan (dosa dosa kecil) darinya sampai sampai sebatang duri
pun yang menusuknya. (H.R Imam Bukhari no. 5640 dan Imam Muslim no. 2572).
Sikap yang benar dan
bermanfaat ketika ada musibah ataupun ujian.
Seorang hamba yang benar imannya maka dia akan menerima
musibah dengan cara yang terpuji sehingga menuai kebaikan yang banyak dari
ujian atau musibah yang mendatanginya.
Pertama : Berbaik
sangka kepada Allah.
Inilah sikap pertama yang harus dikedepankan seorang yang mendapat musibah atau ujian. Tidaklah menjadi sempurna imam
seseorang jika tidak berbaik sangka kepada Allah dalam setiap keadaan.
Syaikh Muhammad Shalih al Utsaimin berkata : Engkau wajib
husnuzhan atau berbaik sangka kepada Allah terhadap perbuatan Allah di alam
ini. Engkau wajib meyakini bahwa apa yang Allah lakukan adalah untuk suatu
hikmah yang sempurna. Terkadang akal manusia memahaminya, terkadang tidak. Maka
janganlah ada yang menyangka bahwa jika Allah melakukan sesuatu di alam ini
karena kehendak-Nya yang buruk.
Kedua : Menjaga sikap sabar
Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah dalam Kitab Madaarijus
Saalikin, menjelaskan makna sabar ada empat, yaitu : (1) Menahan diri dari berputus asa. (2) Meredam amarah
jiwa. (3) Mencegah lisan untuk mengeluh, dan (4) Mencegah anggota badan untuk berbuat
kemungkaran.
Sungguh sangatlah banyak keutamaan sabar. Diantaranya seperti
yang dikatakan oleh Syaikh Sulaiman bin Qaashim : Setiap amalan dapat diketahui
ganjarannya kecuali kesabaran yaitu seperti air yang mengalir deras. Lalu
beliau membacakan al Qur an surat az Zumar 10 : “ Innamaa yuwaffash
shabiruna ajrahum bighairi hisaab” Sesungguhnya
hanyalah pahala orang-orang bersabarlah yang dicukupkan tanpa batas.
Syaikh Muhammad Shalih al Utsaimin dalam Kitab Syarah
Riyadush Shalihin menjelaskan : Adapun kesabaran pahalanya berlipat ganda tidak
terbatas. Ini menunjukkan bahwa ganjarannya sangat besar sekali hingga tidak
mungkin bagi seorang insan untuk membayangkan pahalanya karena tidak bisa
diukur dengan bilangan.
Bahkan, pahala sabar termasuk perkara yang maklum disisi
Allah tanpa bisa dibatasi. Tidak pula bisa disamakan dengan mengatakan satu
kebaikan dilipat gandakan pahalanya sepuluh kali sampai tujuh ratus kali lipat.
Kesabaran itu pahalanya tanpa batas. Demikian penjelasan Syaikh Utsaimin.
Ketiga : Banyak beristighfar.
Seorang hamba yang mendapat musibah atau ujian dalam hidupnya
hendaklah banyak beristighfar.
Imam al Qurthubi dalam
Kitab Tafsirnya menjebutkan tentang seseorang yang datang kepada Imam Hasan al
Bashri mengadukan cobaan dirinya yaitu susah sekali
mendapatkan rizki. Imam
Hasan al Bashri memberi nasehat agar banyak beristighfar.
Yang lain datang
mengadukan musibah tentang tanamannya yang kekeringan karena hujan sudah
lama tidak turun. Imam Hasan al Bashri
memberi nasehat agar banyak beristighfar.
Yang lain lagi datang mengadukan cobaan yang menimpa dirinya.
Dia sudah lama menikah tapi belum mendapatkan keturunan. Imam Hasan al Bashri memberi nasehat agar
banyak beristighfar.
Lalu ada seseorang yang bertanya kepada Imam Hasan al Bashri.
Ya Syaikh kenapa setiap orang yang datang mengadukan keadaannya selalu engkau
beri nasehat agar banyak beristighfar.
Imam Hasan al Bashri menjelaskan : Aku mengatakan (agar banyak beristighfar) itu bukan dari
diriku. Lalu beliau membacakan surat Nuh 10 -12) : “ Faqultu astaghfiruu
rabbukum innahu kaana ghafaaraa. Yursilis
samaa-a ‘alaikum midraaraa. Wayumdidkum biamwaalin wa baniina wa yaj’allakum
jannaatin wayaj’allakum anhaaraa.” Maka aku katakan kepada mereka : Mohonlah
ampun kepada Rabb-mu, sesungguhnya Dia Mahapengampun. Niscaya Dia akan
menurunkan kepadamu hujan yang lebat dari langit. Dan Dia memberikan kepadamu
anak-anak dan harta yang banyak, diadakan-Nya bagimu kebun-kebun dan
sungai-sungai untukmu.
Keempat : Banyak berdoa.
Seorang hamba haruslah senantiasa berdoa kepada Allah agar
diberi kekuatan dan kesabaran dalam menerima musibah. Juga bermohon untuk
mendapatkan kemudahan dalam hidupnya di
dunia dan akhirat. Apalagi pada saat ada musibah atau ujian yang ringan maupun
berat.
Sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala berjanji akan mengabulkan doa hamba hambaNya.
Allah berfirman : “Wa qaala rabbukum ud’unii
astajiblakum.” Dan Rabbmu berfirman : Berdoalah kepada-Ku niscaya akan Aku
perkenankan bagimu. (Q.S al Mu’min 60).
Rasulullah bersabda : “Innad du’a-a yanfa’u mimma nazala
wa mimma lam yanzil, fa’alaikum ‘ibadallahi biddu’a-i” Doa itu bermanfaat terhadap apa yang sudah
maupun belum menimpa. Oleh karena itu wahai sekalian hamba Allah hendaklah
kalian berdoa (H.R Imam at Tarmidzi dan al Hakim dari Ibnu Umar).
Rasulullah bersabda : “Laisa syai’un akrama ‘alallahi Ta’ala minad dua’i” Tidak ada yang lebih
mulia disisi Allah daripada doa (H.R Imam Ahmad, Imam at Tirmidzi dari Abu
Hurairah
Rasulullah
bersabda : “Innad du’a-u huwal ibadah” Sesungguhnya doa itu ibadah. Suatu ibadah
tentulah mendatangkan pahala dan kebaikan. Andaikata seseorang merasa doanya belum dikabulkan maka
melakukan doa sebagai ibadah saja insya Allah sudah memberi manfaat bagi yang
berdoa tersebut.
Insya Allah ada manfaatnya bagi kita semua. Wallahu A’lam.
(737).