WAJIB MELURUSKAN ITTIBA’ KEPADA RASULULLAH
Oleh : Azwir B. Chaniago
Para ulama tidak berselisih pendapat bahwa amal shalih yang
bernilai disisi Allah Ta’ala harus
berada pada dua keadaan yaitu ikhlas karena Allah dan ittiba’ yaitu sesuai
contoh yang diajarkan Rasulullah Salallahu ‘alaihi wasallam.
Diantara dalil yang
mencakup dua hal ini yaitu tentang ikhlas dan ittiba’ adalah sebagaimana dijelaskan Allah Ta’ala
dalam firman-Nya :
Pertama : Surat an Nisaa’ ayat 125.
Allah berfirman : “Waman ahsanu diinan mimman aslama
wajhahu, lillahi wahuwa muhsin” Dan
siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang orang yang ikhlas menyerahkan
dirinya kepada Allah, sedangkan dia mengerjakan kebaikan.
Syaikh as Sa’di berkata : Maksudnya, tidaklah ada seorangpun
yang paling baik agamanya daripada seorang yang menyatukan antara kepada Dzat
yang disembah yaitu penyerahan diri hanya untuk Allah yang menunjukkan akan
penyerahan hati, penghadapannya, kembalinya, keikhlasannya dan penghadapan
wajah serta seluruh anggota tubuh kepada Allah Ta’ala.
Sedangkan diapun
disamping keikhlasan dan penyerahan diri tersebut dia mengerjakan kebaikan
yaitu mengikuti syariat Allah yang telah Allah utus rasul rasul dengannya dan
telah Allah turunkan kitab kitabNya dan Allah jadikan hal itu sebagai jalan
bagi makhluk makhluk-Nya yang terpilih dan pengikut pengikut mereka. (Kitab
Tafsir Karimir Rahman).
Kedua : Surat al Mulk ayat 2.
Allah berfirman : “Alladzi khalaqal mauta wal hayaata
liyabluwakum aiyukum ahsanu ‘amala, wa huwal ‘aziizul ghafuur” (Dialah) Yang menciptakan mati dan hidup
untuk menguji kamu siapa yang paling baik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa,
Mahapengampun.
Al Imam Fudhail bin Iyadh menjelaskan bahwa : Ahsanu amala, paling baik amalnya dalam ayat ini maksudnya adalah paling
ikhlas dan paling sesuai dengan syariat. Kemudian
ada yang bertanya : Apakah maksud yang paling ikhlas dan paling sesuai dengan
syariat ? Lalu beliau menjawab : Sesungguhnya amalan apabila ikhlas tetapi
tidak sesuai dengan syariat maka tidak diterima. Demikian pula apabila sesuai
dengan syariat tetapi tidak ikhlas maka amalan itu tidak diterima, hingga
amalan tersebut ikhlas dan sesuai dengan syariat. (Hilyah al Auliya’).
Syaikh Abdul Aziz bin Fathi as
Sayyid Nada berkata : Tentang ittiba’ dapat dijelaskan maknanya yaitu seorang
Muslim wajib menjadikan Nabi Muhammad Salallahu ‘alaihi wa sallam sebagai panutan dan teladan Ini adalah sebagaimana
dimaksud dalam firman Allah : “Laqad kaana lakum fii rasuulillahi uswatun
hasanatun, liman kaana yarjullaha wal yaumal aakhira wa dzakarallaha katsiira” .
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu
(yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat
dan dia banyak menyebut Allah. (Q.S al Ahzaab 21).
Oleh karena itu meneladani Nabi dan
mengikuti (cara beragamanya) beliau merupakan dalil tentang benarnya keimanan
seseorang kepada Allah Ta’ala dan hari Akhir. Sungguh tiada jalan untuk mendapat hidayah atau petunjuk yang benar, sebagaimana
firman Allah : …“Fa aaminuu billahi wa
rasuulihin nabiyil ummiyilladzii yu’minu billahi wa kalimaatihii, wattabi’uhu
la’allakum tahtaduun”. …Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya,
Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat kalimat-Nya (kitab
kitab-Nya dan ikutilah dia supaya kamu mendapat petunjuk. (Q.S al A’raaf 158).
Mengikuti Rasulullah juga merupakan
jalan untuk mendapatkan kecintaan Allah Ta’ala kepada
seorang hamba yaitu sebagaimana firman-Nya : “Qul inkuntum tuhibbuunallaha fattabi’uunii, yuhbibkumullahu wa
yaghfirlakum dzunuubakum, wallahu ghafuurur rahiim”. Katakanlah : Jika kamu
(benar benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan
mengampuni dosa dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S Ali
Imran 31).
Selanjutnya beliau berkata : Tidak akan mungkin baik keadaan manusia di
dunia dan di akhirat tanpa mengikuti petunjuk Nabi Muhammad. Oleh karena
itulah, wajib bagi setiap muslim berusaha untuk mengikuti Nabi dalam setiap
keadaannya, yakni dalam akidah, ibadah, perilaku, akhlak, muamalah, jihad dan
semua urusannya. Sebab ini merupakan bukti keimanan yang paling kuat dan paling
benar.
Adapun berpaling dari ittiba’ kepada Nabi dan menggantinya dengan yang
lain adalah merupakan sebab terbesar timbulnya kerusakan dan kekurangan dalam
setiap perkara, kesesatan di dunia serta kerugian dan adzab di akhirat.
Kerusakan yang terjadi ditengah
tengah kaum muslimin, kekurangan dalam berbagai sisi kehidupan mereka, musuh
musuh berkuasa, menimpakan adzab serta mengambil apa yang ada ditangan mereka,
harga harga melambung tinggi, tersebarnya berbagai macam penyakit dan wabah
serta munculnya virus virus penyakit yang tidak pernah dikenal sebelumnya
terjadi karena umat telah berpaling dari petunjuk Rasulullah Salallahu ‘alaihi
wasallam. Pada hal petunjuk Nabi sudah cukup untuk memperbaiki keadaan mereka
di dunia, mengangkat kedudukan mereka, mengalahkan musuh dan meraih kemenangan
di akhirat. Yaitu dengan mengikuti petunjuk itu dan berpegang teguh dengannya.
Sesungguhnya hal itu merupakan
kewajiban yang paling utama atas mereka setelah mengikhlaskan agama kepada
Allah Ta’ala semata. Memurnikan ittiba’ kepada Nabi merupakan realisasi
syahadat Muhammad Rasulullah dan bukti kejujuran itu.
Tanpa ittiba’ maka orang yang
mengucapkan syahadat dianggap telah berdusta karena apa yang dilakukannya
bertentangan dengan ucapannya. Oleh karena itu wajib atas setiap muslim untuk
memperbaiki ittiba’ kepada Nabi dalam setiap urusannya karena itu semua
merupakan jalan untuk meraih kemenangan dan keselamatan. (Lihat Kitab
Ensiklopedi Adab Islam).
Dengan demikian maka seorang muslim
wajib menjadikan Rasulullah sebagai panutan tentang Islam karena beliaulah yang
diberi amanah oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk menerima penjelasan yang
paling shahih tentang Islam dan beliau pula yang diamanahkan untuk mengajarkan Islam ini kepada manusia. Beliaulah yang paling tahu tentang Islam
dibanding manusia manapun. Oleh sebab itu tidak ada pilihan bagi seorang
muslim yang ingin memegang Islam ini dengan benar kecuali meluruskan
ittiba’-nya kepada Rasulullah Salallahu ‘alaihi wasallam. Insya Allah semuanya
akan berujung pada kebaikan di dunia dan di akhirat.
Wallahu
A’lam. (478)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar