SYARIAT ADALAH PATOKAN KEBAIKAN DAN KEBURUKAN
Oleh :
Azwir B. Chaniago
Dalam menimbang dan menetapkan
suatu perbuatan atau keadaan, apakah baik atau buruk diperlukan batasan
penilaian, patokan atau standar yang jelas. Dan sungguh tidaklah ada keraguan sedikitpun
bahwa di dalam Islam syariatlah yang menjadi patokan atau standarnya. Jika
syariat mengatakan baik maka itulah kebaikan yang hakiki. Begitu pula, jika
syariat mengatakan sesuatu itu buruk maka itulah keburukan yang hakiki.
Di dalam Islam patokan atau standar
tentang baik dan buruk adalah syariat yaitu dalil dalil dari al Qur-an dan as
Sunnah dengan pemahaman shalafus shalih. Allah berfirman : “Wa anna haadzaa shirathii mustaqiiman fat tabi’us subula fa tafarraqa
bikum ‘an sabiilihii, dzaalikum wash shaakum bihii la’allakum tattaquun”.
Dan sungguh, inilah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah. Jangan kamu ikuti jalan
jalan (yang lain) yang akan mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Demikianlah
Dia memerintahkan kepadamu agar kamu bertakwa. (Q.S al An’am 153).
Sungguh Islam tidaklah menganggap
bahwa hasil pemikiran manusia atau pendapat orang banyak sebagai suatu patokan
kebaikan atau keburukan. Bahkan mengikuti orang banyak bisa menyesatkan.
Allah berfirman : Wain tuthi’ aktsara man fil ardhi yudhilluuka
‘an sabiilillahi, in yattabi’uuna illazh zhanna wain hum illaa yakhrushuun”. Dan
jika kamu mengikuti kebanyakan orang di bumi ini, niscaya mereka akan
menyesatkan kamu dari jalan Allah. Yang mereka ikuti hanya persangkaaan belaka
dan mereka hanyalah membuat kebohongan. (Q.S al An’am 116).
Ibnu Taimiyah berkata : Standar
baik dan buruk adalah sesuai dengan timbangan syariat. Kapan saja ada dari nash
al Qur-an dan Hadits Nabi maka ia tidak boleh diselisihi. Namun jika tidak ada
nash atau dalil yang jelas dari syariat, maka dipersilahkan berijtihad dengan
cara memahami persamaan dan perbandingan antara permasalahan hukum Islam yang
dinamakan dengan asybah wa nazhaa-ir. (Ijtihad ini tidak boleh dilakukan oleh
sembarang orang, pen.) tapi hanya boleh dilakukan oleh para ahli dan orang yang
mumpuni dalam hukum agama (Majmu’ Fatawa).
Lalu bagaimana jika standar atau
patokan kebaikan dan keburukan diserahkan kepada pemikiran, selera dan
keinginan manusia ? Ini menimbulkan pertanyaan berikutnya yaitu pemikiran,
selera dan keinginan siapa yang akan diikuti ?. Sebab manusia memiliki
perbedaan antara satu dengan yang lainnya dan juga memiliki kepentingan sendiri
sendiri yang bisa saja berlawanan dengan kepentingan manusia lainnya. Akibatnya akan mendatangkan konflik
dan permusuhan serta kerusakan. Selain itu manusia juga memiliki hawa nafsu
yang cenderung kepada keburukan. Pendapat seseorang atau sekelompok orang
tidaklah bisa dijadikan sebagai patokan dalam menentukan sesuatu itu benar atau
sesuatu itu salah. Bahkan bisa benar menurut seseorang tapi salah menurut yang
lain.
Allah telah berfirman : “Walawit taba’al haqqu ahwaa-ahum
lafasadatis samaawaatu wal ardhu wa man fiihinna” Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu
mereka pasti binasalah langit dan bumi ini dan semua yang ada di dalamnya. (Q.S al Mukminuun 71).
Bagaimana mungkin manusia akan
menetapkan standar kebenaran dan keburukan dengan menggunakan pemikiran mereka
karena Allah yang Maha Mengetahui sedangkan manusia hanya diberikan pengetahuan
yang sangat sedikit. Allah berfirman : “Wamaa
uutiitum minal ‘ilmi illaa qaliilaa” Sedangkan kamu diberi pengetahuan
hanya sedikit. (Q.S al Israa’ 85)
Lalu Allah Ta’ala menurunkan
syariat ini melalui Rasul-Nya yang berperan
sebagai al basyir yaitu pemberi kabar gembira yang diantaranya adalah
mengajarkan dan mengajak kepada kebaikan yang hakiki. Dan juga berperan sebagai
an nadzir yaitu pemberi peringatan yang diantaranya adalah mengingatkan tentang
keburukan dan mengajak untuk menjauhinya.
Allah berfirman : “Wamaa arsalnaaka illaa kaaffatal linnaasi
basyiran wa nadziiraa, walaakinal aktsarannasi laa ya’lamuun”. Dan Kami
tidak mengutus kamu melainkan sebagai pembawa berita gembira dan sebagai
pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui (Q.S Saba’ 28).
Oleh sebab itu manakala (1) Orang
yang ingin mengetahui kebaikan dan mengetahui keburukan yang hakiki (2) Orang
yang ingin melakukan kebaikan dan menjauhi keburukan maka tiada cara baginya
kecuali mempelajari, memahami dan mengamalkan serta mengajarkan al Qur-an dan
as Sunnah sebagaimana pemahaman salafush shalih. Inilah jalan yang paling baik dan paling
utama untuk memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Sungguh tidaklah
ada jalan yang lain.
Wallahu A’lam. (391)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar