BERHUTANG
TAPI TIDAK ADA NIAT MEMBAYAR
Oleh : Azwir B. Chaniago
Dalam
syariat Islam, berhutang tidaklah
dilarang tapi sangatlah dianjurkan
untuk tidak mengambil hutang kecuali
untuk suatu kebutuhan yang betul betul mendesak dan tidak bisa ditunda.
Ketahuilah
bahwa pada hakikatnya behutang akan mendatangkan banyak bahaya
dan kesulitan bagi diri
seorang hamba, jika dia lalai mengembalikannya. Apalagi jika tidak punya niat
membayar. Hal ini dijelaskan dalam
banyak sabda Rasulullah Salallahu ‘alaihi wasallam, diantaranya :
Pertama : Orang mati syahid diampuni dosanya
kecuali hutang.
Rasulullah bersabda : “Yughfaru lisy syahiidi kullu dzanbin illaad
daina” Diampuni semua dosa orang yang mati syahid kecuali hutang. (H.R Imam
Muslim).
Lalu bagaimana kalau dia bukan
termasuk orang yang mati syahid kemudian sengaja atau tidak mau membayar hutang
pada hal dia mampu, maka tentu adzabnya nanti akan lebih berat.
Kedua : Jiwa seseorang mukmin akan tergantung dengan hutangnya
Rasulullah
bersabda : “Nafsul mu’mini mu’allaqatun
bidainihi hatta yuqdha ‘anhu”. Jiwa orang mukmin bergantung dengan utangnya
hingga dia membayarnya (H.R at Tirmidzi, dishahihkan oleh Syaikh al Albani).
Imam
al ‘Iraqi mengatakan : Urusannya masih
menggantung, artinya tidak bisa kita katakan ia selamat ataukah sengsara sampai
dilihat hutangnya tersebut lunas ataukah tidak.
Imam asy Syaukani berkata : Hadits ini adalah
dorongan agar ahli waris segera melunasi hutang si mayit. Hadits ini sebagai
berita bagi mereka bahwa status orang yang berhutang masih menggantung
disebabkan oleh hutangnya sampai hutang tersebut lunas.
Ancaman
dalam hadits ini ditujukan bagi orang yang memiliki harta untuk melunasi
hutangnya lantas ia tidak lunasi. Sedangkan orang yang tidak memiliki harta dan
sudah bertekad ingin melunasi hutangnya, maka ia akan mendapat pertolongan
Allah untuk memutihkan hutangnya tadi sebagaimana hal ini diterangkan dalam
beberapa hadits. (Lihat Nailul Authar).
Ketiga : Rasulullah enggan
menshalatkan jenazah yang punya hutang
Dalam
satu riwayat disebutkan bahwa Rasulullah bertanya kepada sahabat sebelum
menshalatkan jenazah seseorang apakah dia memiliki hutang. Kalau dia memiliki
hutang maka Rasulullah tidak menshalatkannya kecuali ada yang mau menanggung
hutangnya.
Bahwasanya
Nabi shallallahu 'alahi wa sallam didatangkan kepada beliau jenazah, maka
beliau berkata :
"Apakah dia memiliki hutang?". Mereka mengatakan,
"Tidak". Maka Nabipun menshalatkannya. Lalu didatangkan janazah yang
lain, maka Nabi shallallahu 'alahi wa sallam berkata : "Apakah ia memiliki hutang ?", mereka
mengatakan, "Iya", Nabi berkata, "Sholatkanlah saudara kalian". Abu Qatadah berkata,
"Aku yang menanggung hutangnya wahai Rasulullah". Maka Nabipun
menshalatkannya" (H.R Imam Bukhari).
Memang
kalau kita meninggal sekarang Nabi tidak mungkin menshalatkan kita karena beliau
sudah duluan wafat dari kita. Tapi ambillah pelajaran atau ibrah yang
sangat berharga dari makna hadits ini bahwa sungguh hutang yang
belum dibayar bukanlah suatu hal yang ringan dimata Rasulullah.
Keempat : Hutang
mendatangkan kesusahan di akhirat.
Dari
Ibnu Umar, Nabi Salallahu ‘alaihi Wasallam bersabda : “Man maata wa ‘alaihi dinaarun au dirhamun qudhiya min hasanaatihi
laisa tsumma diinarun wa laa dirhamun” .Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki hutang satu dinar
atau satu dirham, maka hutang tersebut akan dilunasi dengan kebaikannya (di
hari kiamat nanti) karena di sana (di akhirat) tidak ada lagi dinar dan dirham.”
(HR. Ibnu Majah dishahihkan oleh Syaikh
al Albani)
Kelima :
Mengantarkan seseorang menjadi pendusta
dan mengingkari janji.
Berhutang
sering mengantarkan seseorang kepada pada banyak dusta dan mengingkari janji.
Dari ‘Urwah, dari ‘Aisyah bahwa. Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berdo’a di dalam shalat : “Allahumma
inni a’udzu bika minal ma’tsami wal maghram.Ya Allah, aku berlindung
kepadamu dari berbuat dosa dan banyak hutang.
Lalu
ada yang berkata kepada beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam : Kenapa engkau sering meminta
perlindungan dari hutang ? Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam lantas bersabda : “Jika orang
yang berhutang berkata, dia akan sering berdusta, jika dia berjanji, dia akan
mengingkari.” (H.R. Imam Bukhari dan
Imam Muslim).
Kenyataan yang agak sering kita saksikan adalah bahwa
orang yang memberi pinjaman seringkali kesulitan untuk mendapatkan kembali
pinjaman yang telah diberikannya. Orang
yang berutang seringkali berdusta ketika ditagih. Berjanji mau membayar minggu
depan, bulan depan dan sebagainya padahal itu hanyalah kebohongan saja.
Jika
seorang suka berkata dusta dan mengingkari janji maka
dia bisa terjatuh kepada keburukan yang lebih berat yaitu kemunafikan.
Sungguh orang orang munafik diancam dengan neraka yang terbawah.
Allah
Ta’ala berfirman : “Innal munaafiqiina
fid darkil asfali minan naari walan tajida lahum nashiiraa”. Sungguh, orang
orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka.
Dan kamu tidak akan mendapatkan seorang penolong pun bagi mereka. (Q.S an Nisa’
145)
Lalu bagaimana
jika berhutang tapi tidak berniat untuk mengembalikannya. Ini tentu akan lebih
buruk lagi keadaannya. Orang ini akan
mendapat tambahan hukuman secara khusus
yaitu mendapat status sebagai pencuri. Dari Shuhaib al khair, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda : “Aiyumaa
rajulin yadaiyanu dainan wa huwa
mujmi’un an laa yuwaffyahu iyyaahu laqiyallaha saariqan”. Siapa saja yang berhutang lalu berniat tidak
mau melunasinya, maka dia akan bertemu Allah (pada hari kiamat) dalam status
sebagai pencuri. (H.R. Ibnu
Majah. Syaikh al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih).
Imam
al Munawi mengatakan : Orang seperti ini akan dikumpulkan bersama golongan
pencuri dan akan diberi balasan sebagaimana mereka. (Lihat Faidul Qodir). Na’udzubillah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar