HADITS KISAH TSA’LABAH TIDAK SHAHIH
Oleh :
Azwir B. Chaniago
Salah satu kisah yang pernah
kita dengar adalah tentang seorang sahabat bernama Tsa’labah bin Hathib al
Anshari. Kisah Tsa’labah ini cukup masyhur dan agak sering diceritakan oleh beberapa ustadz
dalam kajian kajian terutama dalam memotivasi jamaah agar tidak lalai dalam berzakat, berinfak dan bersedekah.
Kisah ini bersumber dari Abu Umamah al Bahili dari Tsa’labah
bin Hathib al Anshari, pernah berkata kepada Rasulullah Salallahu ‘alaihi
wasallam : “Ya Rasulullah berdoalah
kepada Allah agar aku diberi harta. Lalu Rasulullah bersabda : Celakalah engkau
wahai Tsa’labah, sesungguhnya harta yang sedikit yang engkau syukuri lebih baik
dari harta yang banyak yang engkau tidak sanggup mensyukurinya.
Kemudian hal yang sama
diulangi lagi oleh Tsa’labah kepada Rasulullah sehingga beliau bersabda
kepadanya : Tidakkah engkau ridha menjadi seperti Nabi Allah ?. Demi dzat yang
jiwaku ada di tangan-Nya, jika aku mau (lalu aku berdoa), gunung gunung ini
akan menjadi emas dan perak untukku.
Kemudian Tsa’labah
berkata : Demi Dzat yang mengutusmu dengan benar, seandainya engkau memohonkan
kepada Allah agar aku dikaruniai harta (yang banyak) sungguh aku akan
memberikan haknya (zakat/sadaqah) kepada yang berhak menerimanya. Lalu
Rasulullah berdoa : Ya Allah, karuniakanlah harta kepada Tsa’labah.
Kemudian ia mendapatkan
seekor kambing. Lalu kambing itu beranak pinak sebagaimana tumbuh berkembang
biaknya ulat. Kota Madinah terasa sempit baginya. Sesudah itu ia menjauh dari
Madinah dan tinggal di suatu lembah. Karena kesibukannya, ia hanya berjamaah
pada shalat zuhur dan ashar saja. Kemudian kambing itu semakin banyak maka
mulailah ia meninggalkan shalat berjamaah, sampai shalat Jumat pun ia
tinggalkan.
Suatu ketika Rasulullah
bertanya kepada para sahabat, apa yang dilakukan Tsa’labah. Mereka menjawab :
Ia mendapatkan seekor kambing lalu kambingnya bertambah banyak sehingga kota
Madinah terasa sempit baginya. Rasulllah bersabda : Celakalah Tsa’labah,
celakalah Tsa’labah.
Ketika Allah menurunkan
ayat : Ambillah dari sebagian harta mereka itu sebagai shadaqah/zakat. Setelah
turun perintah wajib zakat maka Rasulullah mengutus dua orang dari bani
Juhaimah dan dua orang lagi dari bani Salim dan menyebutkan bagaimana cara
memungut shadaqah dan zakat kaum muslimin seraya berkata : Pergilah kalian ke
tempat Tsa’labah dan tempat fulan dari Bani Salim. Ambillah zakat mereka
berdua. Lalu keduanya pergi menjalankan tugasnya sehingga sampailah kepada
Tsa’labah untuk meminta zakatnya. Sesampainya disana dibacakan surat dari
Rasulullah.
Serta merta Tsa’labah
berkata : Apakah ini tidak lain dan tidak bukan kecuali pajak atau semacam
pajak ? Aku tidak tahu apa yang sebenarnya yang kalian minta ini. Pergilah
kalian dahulu nanti setelah selesai, datang lagilah kepadaku. Maka kedua orang itu
pun pergi untuk memungut zakat orang orang disekitar itu. Hal itu terdengar
pula oleh bani Salim yang kemudian memilih ternaknya yang paling bagus untuk
dikeluarkan zakatnya. Karena pemungut zakat melihat bahwa apa yang diserahkan
kepada mereka melebihi dari apa yang harus dikeluarkan, petugas itu berkata
kepadanya : Kamu tidak wajib mengeluarkan ini dan kami tidak berkeinginan
menerimanya. Orang itu menjawab : Betul, tapi terimalah ini sesungguhnya aku
ikhlas melakukannya.
Kemudian petugas zakat
itu melakukan tugasnya terhadap orang orang yang ada di sekitar itu dan setelah
itu mereka kembali menemui Tsa’labah. Kemudian Tsa’labah berkata :
Perlihatkanlah kepadaku surat tugasmu. Setelah selesai membacanya ia pun
berkata : Pungutan ini tidak lain kecuali pajak dan sejenisnya. Pergilah dulu
sementara aku berfikir fikir apakah yang akan aku lakukan. Setelah kedua
petugas zakat itu bertemu dengan Rasulullah. Beliau bersabda : Celakalah wahai
Tsa’labah hal itu beliau katakan sebelum kedua petugas itu bercerita kepada
Rasulullah dan beliau mendoakan keberkahan bagi orang orang dari bani Salim
itu.
Kemudian kedua petugas
zakat tersebut menceritakan kepada Rasulullah tentang apa yang telah dilakukan
oleh Tsa’labah dan orang orang dari bani Salim. Ketika itu turun ayat : “Dan di antara mereka ada yang telah
berikrar kepada Allah, sesungguhnya jika Allah memberikan sebagian kerunia-Nya
kepada kami pastilah kami akan bershadaqah dan pastilah kami termasuk orang
orang yang shalih. Maka setelah Allah memberikan kepada mereka sebahagian dari
karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu dan mereka memanglah orang orang
yang selalu membelakangi (kebenaran) Q.S at Taubah 75-76.
Ketika ayat ini turun,
salah seorang kerabat Tsa’labah berada di dekat Rasulullah dan mendengar ayat
tersebut. Kemudian ia keluar dan pergi menemui Tsa’labah seraya berkata :
Celakalah engkau wahai Tsa’labah, sesungguhnya Allah telah menurunkan ayat yang
berkenaan denganmu. Mendengar hal itu Tsa’labah langsung pergi menemui
Rasulullah dan meminta beliau untuk menerima zakatnya. Namun Rasulullah
bersabda : Sesungguhnya Allah telah melarangku menerima zakat darimu.
Tsa’labah lalu melumuri
kepalanya dengan debu sebagai tanda berduka cita, menyesal. Rasulullah kembali
mengatakan kepadanya : Ini adalah akibat perbuatan kamu sendiri. Dulu aku telah
perintahkan kamu untuk mengeluarkannya tetapi kamu tidak mau mentaatiku. Setelah
ia menyadari bahwa Rasulullah tidak bakal menerima zakatnya, Tsa’labah langsung
pulang ke rumahnya. Sampai pada saat Nabi wafat beliau tidak mau menerima zakat
dari Tsa’labah.
Pada masa Khalifah Abu
Bakar Tsa’labah berkata kepadanya : Bukankah engkau tahu kedudukanku di sisi
Rasulullah serta keberadaanku di kalangan kaum Anshar, karenanya terimalah
zakat ku ini. Abu Bakar menjawab : Rasulullah kan tidak mau menerima zakat dari
engkau. Akhirnya Abu Bakar pun tidak mau menerimanya sampai beliau wafat.
Pada masa Khalifah Umar
bin Khaththab, Tsa’labah mendatangi Umar seraya berkata : Wahai Amirul Mukminin
terimalah zakatku ini. Umar menjawab : Rasulullah dan Abu Bakar tidak mau
menerima zakat dari engkau, sementara akukah yang akan menerimanya. Sampai wafatpun
Umar tidak mau menerima zakat Tsa’labah. Pada masa Khalifah Utsman bin Affan,
Tsa’labah mencoba mendatangi Usman seraya berkata : Terimalah zakatku ini.
Namun Utsman menjawab : Rasulullah, Abu Bakar dan Umar tidak mau menerima zakat
dari engkau apakah aku akan menerimanya ?. Akhirnya Utsman bin Affan pun tidak
mau menerima zakat Tsa’labah. Dan Tsa’labah pun wafat pada masa pemerintahan Utsman bin Affan (Tafsir Ibnu Katsir).
Tentang kelemahan
hadits ini.
Pertama : Dalam sanad atau periwayatan
haditsnya.
Dalam sanad hadits ini terdapat dua orang perawi yang
bermasalah yaitu :
(1) Mu’an bin Rifa’ah as Salami. Tentang Mu’an ini, Syaikh
Muhammad Nasiruddin al Albani dalam Kitab Silsilah Hadits Dha’if dan Maudhu’
berkata : Mu’an bin Rifa’ah adalah seorang perawi yang lemah.
(2) Ali bin Yazid al Alhani ad Dimasyqi yang dikomentari
ulama ahli hadits sebagai berikut (a) Imam Bukhari berkata : Ali bin Yazid
adalah munkarul hadits. (b) Imam Abu Zur’ah berkata : Ali bin Yazid bukanlah
seorang perawi yang kuat. (c) Imam ad Daraquthni berkata : Dia adalah matruk,
yaitu periwayatannya ditinggalkan, tidak dipakai. (d) Ibnu Hibban menganggap
Ali bin Yazid adalah perawi yang tidak benar.
Kedua : Matan atau redaksi hadits ini
sangat bathil.
Dalam matan hadits ini disebutkan bahwa Rasulullah tidak mau
mengakui taubat yang telah dilakukan seorang sahabat yaitu Tsa’labah yang telah
mengakui kesalahannya. Tidaklah Rasulullah memiliki sifat yang demikian karena
beliau selalu berharap agar umatnya yang telah terlanjur berbuat dosa untuk
kembali bertaubat.
Allah Ta’ala berfirman : “Sesungguhnya
telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya
penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan ketakwaan) bagimu, amat belas
kasihan lagi penyayang terhadap orang orang mukmin. Jika mereka berpaling (dari
keimanan) maka katakanlah : cukuplah Allah bagiku, tidak ada tuhan selain Dia.
Hanya kepada-Nya aku bertwakal dan Dia adalah Rabb yang memiliki ‘Arsy yang
agung. (Q.S at Taubah 128-129).
Dan Allah berfirman : “Wahai
orang orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang sebenar
benarnya, mudah mudahan Rabb-mu akan menghapus kesalahan kesalahanmu dan
memasukkan kamu kedalam surga yang dibawahnya mengalir sungai sungai.. (Q.S at Tahrim 8)
Dalam banyak hadits juga disebutkan bahwa Allah dan Rasul-Nya
senantiasa berharap agar para pelaku maksiat segera bertaubat.
Rasulullah bersabda : “Sesungguhnya
Allah senantiasa menghamparkan tanganNya di waktu malam untuk menerima taubat orang
yang melakukan kesalahan di siang harinya. Dan Dia senantiasa menghamparkan
tanganNya di waktu siang untuk menerima taubat orang yang melakukan kesalahan
di malam harinya. Yang demikian itu terus berlaku sampai matahari terbit di
sebelah barat (Kiamat). H.R Imam Muslim.
Rasulullah bersabda : “Innallaha
yaqbalu taubatal ‘abdi maa lam yugharghir. Sesungguhnya Allah senantiasa
menerima taubat yang dilakukan oleh seorang hamba-Nya selama taubat tersebut
dilakukan sebelum nafasnya sampai ke tenggorokan (sakara). H.R at Tirmidzi.
Jadi sungguh tampak sekali kejanggalan bahkan kebathilan pada
kisah Tsa’labah dalam hadits ini bahwa Rasulullah dan tiga Khalifah sesudah
beliau tidak mau menerima zakat dan tidak menerima pengakuan keteledoran
Tsa’labah.
Keutamaan
Tsa’labah.
Diantaranya juga alasan yang membuat hadits ini dihukumi tidak
shahih adalah gambaran tentang keutamaan Tsa’labah. Dengan keutamaan yang
dimilikinya maka sangatlah sedikit kemungkinan dia berlaku buruk yaitu melalaikan
kewajiban syariat berupa zakat, infak dan sedekah. Selain itu diantara sikap yang mulia
dari seorang sahabat adalah tidak
mencintai harta dunia begitu juga dengan Tsa’labah. Apalagi Tsa’labah adalah
sahabat dari golongan Anshar yang umumnya mereka sangat dermawan terutama dalam
menyambut dan melayani kaum Muhajirin. Secara khusus, keutamaan Tsa’labah
terlihat paling tidak pada dua hal sebagai berikut :
Pertama : Tsa’labah termasuk kelompok
sahabat yang pertama tama masuk Islam dari golongan Anshar, yang dalam al Qur
an disebut sebagai : assabiqunal awwaluun, yaitu orang orang yang terdahulu
lagi yang pertama tama masuk Islam.
Kedua : Tsa’labah adalah sahabat yang ikut
dalam perang Badr. Dalam Kitab sejarah yang ditulis oleh Syaikh Mahmud Syit
Khaththab disebutkan bahwa Tsa’labah bin Hathib al Anshari dari Ban Umaiyah bin
Zaid bin ‘Auf dari suku Aus dicatat pada urutan 123 sebagai pejuang perang Badr
dari golongan Anshar.
Asbabun Nuzul surat at
Taubah ayat 75-76.
Ayat 75-76 surat at Taubah tidaklah berkaitan dengan Tsa’labah. Imam al
Qurtubi berkata : Semua riwayat yang mengatakan bahwa ayat ini turun dalam
kaitannya dengan Tsa’labah tidak ada satu pun yang shahih. Yang shahih adalah
bahwa ayat tersebut diturunkan berkaitan
dengan orang orang munafik yaitu Nabtal bin Harits, Jad bin Qais dan Mu’attab
bin Qusyair, Demikian yang dikatakan adh Dhahak. (Tafsir al Qurtubi).
Wallahu A’lam. (409)