PENYEBAB PENGHIDUPAN YANG SEMPIT
Oleh : Azwir B. Chaniago
Semua manusia tentu ingin hidup senang, tenang, bahagia jauh
dari kesulitan dan kesempitan. Tidak ada yang ingin susah, melarat dan selalu
kekurangan. Untuk itu maka Allah
Subhanahu wa Ta’ala telah menurunkan firman-Nya sebagai peringatan dan penjelasan tentang penyebab
kehidupan yang sempit yaitu tersebab berpaling atau
tidak mengindahkan peringatan peringatan Allah Ta’ala.
Allah berfirman : “Waman
a’radha ‘an dzikrii fa inna lahuu ma’iisyatan dhankaa, wa nahsyuruhuu yaumal
qiyaamati a’maa”. Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku
maka sungguh dia akan menjalani kehidupan yang sempit dan pada hari Kiamat
(dibangkitkan) dalam keadaan buta. (Q.S
Thaha 124)
Diantara penafsiran ulama tentang makna penghidupan yang
sempit yang disebut dalam ayat ini adalah :
Pertama : Penghasilan dari yang buruk dan haram.
Dalam Kitab Zadul Ma’ad disebutkan bahwa Imam Ibnul
Jauzi menukil bahwa Ibnu Abbas berkata :
Penghidupan yang sempit, dalam ayat ini, bermakna disempitkan baginya pintu
pintu kebaikan, sehingga dia tidak mendapatkan petunjuk kebaikan dan dia akan
mempunyai penghasilan yang haram dari usahanya. Disebutkan
pula perkataan adh Dhahak dan Ikrimah, dua ahli tafsir dari kalangan Tabi’in yang
mengatakan bahwa : Penghidupan yang sempit, dalam ayat ini, yaitu usaha atau
penghasilan yang buruk dan haram.
Lihatlah bagaimana ketajaman pemikiran ulama dalam
menjelaskan tentang penghasilan yang buruk dan haram yang akhirnya
mendatangkan kesengsaraan dan kesusahan dalam hidup seseorang.
Jadi seseorang yang mempunyai penghasilan yang berlimpah
tetapi diperoleh dengan cara yang buruk dan haram maka dia disebut sebagai
orang yang mendapat penghidupan yang sempit.
Kedua : Tidak ada
kelapangan hati.
Imam Ibnu Katsir berkata tentang ayat ini : Barangsiapa yang
menyelisihi perintah-Ku dan ketentuan syariat yang Aku turunkan kepada Rasul-Ku
(dengan) berpaling darinya, melupakannya, dan mengambil selain petunjuknya maka baginya penghidupan yang sempit dan
sengsara, yaitu di dunia, dan tidak ada kelapangan dalam
hatinya. Bahkan hatinya sempit dan sesak karena penyimpangannya, meskipun
(terlihat) secara zhahir (hidupnya) senang. Berpakaian , makan dan bertempat
tinggal sesukanya. Akan tetapi hatinya selalu diliputi kegundahan, keguncangan
dan keraguan karena jauhnya dari kebenaran dan petunjuk-Nya. (Kitab Tafsir Ibnu
Katsir).
Memang benar kita melihat betapa banyak orang yang berpaling
bahkan durhaka terhadap petunjuk Allah tetapi memiliki harta yang banyak dan
juga pangkat yang tinggi. Lalu bagaimana bisa orang yang memiliki harta yang
banyak dan pangkat yang tinggi akan mengalami kehidupan yang sempit padahal
semua yang dia inginkan dan kapanpun dia butuhkan bisa dengan segera mereka
penuhi bahkan dengan cara yang mudah dan mungkin berlebihan.
Ketahuilah bahwa kebahagiaan yang hakiki bukan pada sesuatu
yang terlihat secara zhahir berupa materi semata. Semua itu sangat sementara
bahkan semu seperti fatamorgana. Semua manusia yang berakal (sehat) sangatlah paham
bahwa
kebahagiaan yang hakiki itu ada pada hati bukan pada sesuatu yang
terlihat secara zhahir. Dan Rasulullah telah mengingatkan dengan sabda beliau :
“Laisal ghinaa ‘an katsratil ‘aradhi wa lakinnal ghinaa ghinan nafs” Bukanlah
kekayaan itu karena banyaknya harta, akan tetapi kekayaan itu adalah kaya hati
(H.R Imam Bukhari dari Abu Hurairah).
Ketiga : Siksaan di dunia dan diakhirat
Syaikh as Sa’di berkata : Penghidupan yang sempit maksudnya
adalah balasan dari Allah yang menjadikan penghidupan seseorang itu (di dunia)
menjadi sempit lagi susah. Dan itu terjadi sebagai suatu siksaan. Penghidupan
yang sempit juga ditafsirkan dengan siksa kubur. Kuburannya akan dipersempit
dan dia terkepung di dalamnya.
Syaikh as Sa’di menjelaskan pula bahwa Sebagian ulama tafsir memandang bahwa
penghidupan yang sempit itu bersifat umum di dunia, semisal kesedihan,
kegetiran dan hal hal yang menyakitkan yang menimpa orang orang yang berpaling
dari Rabbnya. Ini merupakan siksa yang
disegerakan di dunia. Kemudian (siksaan) di alam barzakh, diakhirat karena
lafaz (ayat ini) adalah mutlak tanpa terikat dengan sesuatupun. (Kitab Tafsir
Kariimir Rahman).
Kita bermohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar diberi
kekuatan untuk selalu berpegang kepada petunjuk-Nya dan petunjuk Rasul-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar