NIAT BAIK SAJA TIDAK CUKUP
Oleh : Azwir B. Chaniago
Ketahuilah wahai saudaraku bahwa dalam melakukan sesuatu yang
bermanfaat, tidaklah cukup dengan niat baik saja. Niat baik memang harus
dikedepankan tetapi harus dibarengi pula dengan cara yang benar. Ini berlaku untuk
segala macam perbuatan baik, juga untuk urusan dunia apalagi untuk urusan
akhirat.
Ada dua contoh sederhana tentang niat baik yang berkaitan dengan urusan
dunia.
Pertama : Seorang murid Sekolah Dasar disuruh mengerjakan sebuah soal oleh
gurunya : Berapa luas satu bidang jika panjangnya 4 meter dan lebarnya 2 meter.
Si anak dengan niat baik untuk memenuhi tugas dari gurunya lalu
mengerjakan soal tersebut. Dia ternyata menambahkan 4 dengan 2 sehingga menjadi
6. Lalu memberikan jawaban kepada gurunya bahwa luas bidang tersebut adalah 6
meter persegi. Jawabannya tentu salah karena meskipun niat baiknya sudah ada
tapi caranya tidak benar. Seharusnya dia mengalikan 4
dengan 2 maka jadinya adalah 8 meter persegi, tapi anak ini menambahkan 4
dengan 2. Oleh karenanya anak ini tentu tidak mendapat nilai.
Kedua : Pada suatu hari seorang suami
meminta istrinya untuk membuat rendang
yang masakan Padang itu. Lalu si istrinya mempersiapkan segala sesuatu untuk
membuatnya dengan niat baik memenuhi keinginan suaminya. Tapi cara membuatnya salah
meskipun niatnya sudah baik. Seharusnya diberi santan kelapa tapi dia beri
kecap. Maksudnya supaya warnanya kehitam hitaman karena begitulah warna rendang
yang dia tahu. Akhirnya masakan itu tidak jadi rendang tapi jadi semur. Niatnya
memang sudah baik tapi caranya tidak benar sehingga dia tidak
mencapai tujuannya untuk membuat rendang.
Apalagi untuk urusan
akhirat atau urusan ibadah tentu niat baik saja juga tidak cukup tetapi
haruslah dengan cara yang benar. Para
ulama sepakat bahwa syarat diterimanya suatu ibadah adalah niat yang baik yaitu
ikhlas karena Allah dan caranya harus
benar yaitu yang diajarkan oleh Rasulullah Salallahu ‘alaihi Wasallam.
Allah berfirman : “Alladzi khalaqal mauta wal hayaata
liyabluwakum aiyukum ahsanu ‘amalaa.” (Allah) Yang menciptakan mati dan hidup, untuk
menguji kamu, siapa yang lebih baik
amalnya. (Q.S al Mulk 2)
Imam Qadhi Iyadh menjelaskan bahwa makna ahsanu ‘amala dalam ayat
ini adalah amalan yang ikhlas semata-mata karena Allah dan mengikuti
contoh yang diajarkan oleh Rasulullah.
Diantara dalil tentang syarat sahnya suatu ibadah adalah :
Pertama : Niat karena Allah semata.
Allah subhanahu Ta’ala berfirman : “Wamaa umiruu illaa
liya’budullaha mukhlishiina lahuddiin. Padahal mereka hanya diperintah
untuk menyembah Allah dengan ikhlas mantaatiNya semata mata karena
(menjalankan) agama. (Q.S al Baiyinah 5).
Kedua : Sesuai dengan cara yang diajarkan Rasulullah.
Allah Ta’ala berfirman : “…Wamaa ataakumur rasuulu fa
khudzuuhu, wamaa nahaakum ‘anhu fantahuu…” Dan apa apa yang
diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa apa yang dilarangnya
bagimu, maka tinggalkanlah. (Q.S al Hasyr 7)
Rasulullah bersabda : “Man ahdatsa fii amrinaa hadzaa maa
laisa minhu fahuwa raddun.” Barang siapa yang mengada ada dalam urusan
(agama) kami ini, sesuatu yang bukan bagian darinya, maka amalannya tertolak.
(H.R Imam Bukhari dan Imam Muslim).
“Dari Sa’id bin Musayyib, ia melihat seorang laki laki
menunaikan shalat sunat fajr lebih dari dua raka’at. Ia memanjangkan rukuk dan
sujudnya. Maka Sa’id bin Musayyib pun melarangnya. Orang itu bertanya : Wahai
Abu Muhammad, apakah Allah akan menyiksaku dengan sebab aku shalat. Beliau
menjawab : Tidak, tetapi Allah akan menyiksamu karena menyelisihi Sunnah.”
Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani memberi komentar
terhadap atsar ini dalam kitab Irwa’ul Ghalil. : Ini adalah jawaban Sa’id bin
Musayyib yang sangat indah. Dan merupakan bantahan terhadap orang orang yang
menganggap baik sesuatu bid’ah dengan alasan dzikir dan shalat. Kemudian
menuduh ahlus sunnah mengingkari dzikir dan shalat. Padahal sebenarnya yang
mereka ingkari adalah penyelisihan terhadap tuntunan Rasulullah dalam dzikir,
shalat dan yang lainnya.
Oleh karena itu mari kita pelihara amal ibadah kita agar
tetap memenuhi syarat ikhlas dan ittiba’ yaitu tidak menyelisihi
apa yang di ajarkan oleh Rasulullah Sallahu ‘alaihi wasallam. Tidaklah cukup
dengan niat baik saja.
Sungguh Allah telah memberikan peringatan dengan kedatangan
cobaan dan adzab terhadap orang orang yang menyelisihi perintah Rasul-Nya.
Allah Ta’ala berfirman : “Falyahdzril
ladzina yukhaalifuuna ‘an amrihii an tushiibahum fitnatun au yushiibahum
‘adzaabun aliim” Maka hendaklah orang orang yang menyalahi (menyelisihi)
perintah Rasul-Nya takut akan mendapat cobaan atau ditimpa adzab yang pedih.
(Q.S an Nuur 63).
Allahu a’lam. (276)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar