MAKNA AL MUTHAFFIFIN
Oleh : Azwir B. Chaniago
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : “Wailul lilmuthaffifin.
Alladziina idzaktaaluu ‘alannaasi yastaufun. Waidzaa kaaluu hum au wazanuuhum
yukhsiruun. Celakalah bagi orang orang yang curang. (Yaitu) orang orang
yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dicukupkan. Dan
apabila mereka menakar atau menimbang (untuk orang lain) mereka mengurangi.
(Q.S al Muthaffifin 1-3).
Kata ath thathfif bermakna pengurangan. Al muthaffifin
bermakna orang yang mengurangi takaran dan timbangan. Tidak memenuhi dan
menyempurnakannya, sehingga mereka disebut orang orang yang curang.
Syaikh Muhammad Shalih al Utsaimin menjelaskan bahwa orang
orang yang apabila mereka menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi,
yakni apabila mereka membeli barang yang ditakar mereka meminta takarannya
dipenuhi dengan sempurna, tanpa kekurangan. Dan apabila mereka menakar atau
menimbang untuk orang lain mereka mengurangi.
Mereka minta hak mereka dipenuhi dengan sempurna tapi mereka
sendiri mengurangi hak orang lain. Orang ini, kata Syaikh Utsaimin, telah
mengumpulkan dua sifat (yang buruk) yaitu asy syuhh atau tamak dan al bukhl
atau bakhil. Disebut tamak karena mereka menuntut hak mereka dipenuhi dengan
sempurna tanpa peduli dan toleransi. Disebut bakhil karena mereka tidak
menyempurnakan kewajiban yang seharusnya mereka penuhi yaitu memenuhi takaran
dan timbangan.
Keadaan yang Allah firmankan dalam ayat ini tentang takaran
dan timbangan adalah permisalan. Termasuk didalamnya semua bentuk kecurangan
yang sejenis. Siapa saja yang menuntut haknya dipenuhi dengan sempurna dan
mengurangi hak orang lain maka termasuk
(yang diancam) dalam ayat tersebut. Misalnya, seorang suami minta haknya
dipenuhi oleh istrinya dengan sempurna dan supaya istrinya tidak melalaikan
sedikitpun haknya sebagai suami. Namun giliran si suami harus memenuhi hak
istrinya dia melalaikan dan tidak menyempurnakannya. (Lihat Kitab Tafsir Juz
‘Amma, Syaikh Utsaimin).
Selain itu, Syaikh Utsaimin juga mengingatkan : Ayat ini
meskipun berkaitan erat dengan takaran dan timbangan, hanya saja seorang buruh
atau pegawai jika ia menginginkan gajinya utuh namun dia datang kerja terlambat
atau pulang lebih awal, ia termasuk muthaffifin yang diancam dengan neraka
wail. Sebab jika gajinya dikurangi satu rial saja pasti dia akan berkata : Kok
gaji saya dikurangi ?.
Berkenaan dengan kewajiban memenuhi takaran dan timbangan,
Allah juga telah mengingatkan manusia dalam firman-Nya : “Wa auful kaila
idzaa kiltum wazinuu bil qisthaasil mustaqiim, dzaalika khairuun wa ahsanu takwiilaa” Dan sempurnakanlah
takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah
yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Q.S al Isra’ 35).
Tentang ayat ini, Syaikh as Sa’di berkata : Ini adalah
perintah untuk berlaku adil dan menyempurnakan takaran timbangan dengan adil
tanpa memangkas ataupun menguranginya. Dari konteks umum ayat tersebut dapat
diambil faidah, adanya larangan dari berbagi bentuk penipuan dalam masalah harga,
barang dan obyek yang sudah disepakati, dan (kandungan) perintah untuk tulus dan
jujur dalam bermuamalah. (Tafsir Karimir Rahman).
Semoga Allah menjauhkan diri kita dari berbagai sifat curang
dalam menjalani kehidupan yang fana ini.
Wallahu A'lam (090)
Wallahu A'lam (090)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar