BERBICARA
YANG BAIK ATAU DIAM SAJALAH
Oleh :
Azwir B. Chaniago
Sungguh
sangatlah banyak dalil yang menganjurkan bahkan mewajibkan kita untuk
berbicara yang baik dan bermanfaat.
Diantaranya adalah berupa peringatan bahwa semua perkataan dan perbuatan akan dicatat
oleh malaikat yang mengawasi manusia :
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : “Ma yalfizhu min qaulin illa ladaihi raqibun ‘atid.” Tidak ada satu ucapan pun
yang diucapkannya melainkan ada padanya malaikat pengawas yang selalu hadir.
(Q.S. Qaaf 18).
Ayat ini antara lain menjelaskan bahwa setiap kata yang
kita ucapkan akan dicatat dengan sangat lengkap oleh malaikat yang selalu
berada dikiri kanan kita. Imam Hasan al Bashri dan Qatadah berpendapat bahwa
jika melihat kepada zhahir ayat jelaslah bahwa malaikat akan mencatat setiap
ucapan.
Ali bin Abi Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ia
(malaikat) akan menulis
setiap kebaikan dan keburukan yang diucapkan. Bahkan ia akan mencatat ucapan
aku makan, minum, datang , pergi, melihat dan sebagainya (Tafsir Ibnu Katsir).
Seorang ulama yaitu Abul Qashim berkata : “Andaikata
engkau bisa membeli atau memperoleh buku catatan Malaikat (tentang dirimu),
maka engkau akan trauma untuk berbicara”. Kenapa trauma, karena kita akan kaget
berat melihat catatan ucapan lisan kita yang begitu lengkap dan tanpa kita
sadari ternyata lebih banyak buruknya dari baiknya.
Rasulullah salallahu alaihi wassalam bersabda: “Man kana
yu’minu billahi wal yaumil akhiri fal yaqul khairan au liyasmut”. Barangsiapa
yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia berkata yang baik
atau diam. (H.R. Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah).
Tentang hadits ini
pula, Ibnu Hajar
Ashqalani antara lain menjelaskan : Perkataan itu jika tidak baik pasti jelek,
atau bermuara kepada kepada salah satunya. Termasuk perkataan yang baik adalah
segala perkataan yang dianjurkan dalam syari’at baik yang wajib maupun yang
sunnah. Begitu pula semua perkataan yang mengarah kepadanya. Adapun perkataan
yang buruk dan segala yang mengarah kepada keburukan, maka diperintahkan untuk
diam. (Fath al Bari)
Imam asy Syafi’i berkata : Jika seorang diantara kalian hendak berbicara
maka hendaklah ia berfikir tentang pembicaraannya. Jika tampak mashlahatnya
maka berbicaralah. Namun jika ragu akan kemashalahatannya maka hendaklah ia
tidak berbicara.
Imam an Nawawi berkata : Apabila salah seorang dari
kalian hendak berbicara dan pembicaraan tersebut benar-benar baik dan
berpahala, baik dalam membicarakan yang wajib maupun sunnah, silahkan ia
mengatakannya. Jika belum jelas baginya, apakah perkataan itu baik dan
berpahala atau perkataan itu tampak samar baginya antara haram, makruh dan
mubah, hendaknya dia tidak mengucapkannya. Berdasarkan hal ini, maka perkataan
yang mubah tetap dianjurkan untuk ditingggalkan dan disunnahkan menahan diri
untuk tidak mengatakannya, karena khawatir akan terjerumus kepada perkataan
yang haram dan makruh. Inilah yang sering terjadi (Syarah Shahih Muslim)
Umar bin Khaththab berkata : “Semoga Allah merakhmati
orang yang menahan diri dari banyak berbicara dan lebih mengutamakan banyak
beramal”. (Uyun al Akhbar, Ibnu Taimiyah). Coba kita perhatikan kebanyakan
manusia sekarang ini. Sungguh akan kita dapati sebaliknya. Mereka lebih
mengutamakan banyak berbicara sementara amal mereka dipertanyakan.
Ibnu Mas’ud berkata : “Jauhilah oleh kalian sikap
berlebihan dalam berbicara. Cukuplah bagi seseorang untuk berbicara seperlunya”
(Jami’ul Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab al Hambali).
Abu Darda’ berkata : “Lebih berlaku adillah terhadap
telingamu daripada lidahmu. Karena tidaklah diciptakan telinga itu dua kecuali
agar kamu lebih banyak mendengar daripada berbicara” (Minhajul Qashidin, Ibnu Qudamah).
Imam Abu
Hatim Ibnu Hibban Al-Busti berkata dalam kitabnya Raudhah al ‘Uqala wa Nazhah
al FudhalaFudhala : Orang yang berakal selayaknya lebih banyak diam daripada
bicara. Hal itu karena betapa banyak orang yang menyesal karena bicara, dan
sedikit yang menyesal karena diam. Orang yang paling celaka dan paling besar
mendapat bagian musibah adalah orang yang lisannya senantiasa berbicara, sedangkan
pikirannya tidak mau jalan.
Beliau juga
berkata : Orang yang berakal seharusnya lebih banyak mempergunakan kedua
telinganya daripada mulutnya. Dia perlu menyadari bahwa dia diberi telinga dua
buah, sedangkan diberi mulut hanya satu adalah supaya dia lebih banyak
mendengar daripada berbicara.
Seringkali
orang menyesal di kemudian hari karena perkataan yang diucapkannya, sementara
diamnya tidak akan pernah membawa penyesalan. Dan menarik diri dari perkataan
yang belum diucapkan adalah lebih mudah dari pada menarik perkataan yang telah
terlanjur diucapkan. Hal itu karena biasanya apabila seseorang tengah berbicara
maka perkataan-perkataannya akan menguasai dirinya. Sebaliknya, bila tidak
sedang berbicara maka dia akan mampu mengontrol perkataan-perkataannya.
Beliau
menambahkan : Lisan seorang yang berakal berada di bawah kendali hatinya.
Ketika dia hendak berbicara, maka dia akan bertanya terlebih dahulu kepada
hatinya. Apabila perkataan tersebut bermanfaat bagi dirinya, maka dia akan
bebicara, tetapi apabila tidak bermanfaat, maka dia akan diam. Adapun orang
yang bodoh, hatinya berada di bawah kendali lisannya. Dia akan berbicara apa
saja yang ingin diucapkan oleh lisannya. Seseorang yang tidak bisa menjaga lidahnya
berarti tidak paham terhadap agamanya.
Sungguh
Rasulullah Salallahu ‘alaihi Wasallam telah mengajarkan kepada kita sebuah doa
agar terjaga dari berbicara yang tidak baik. “Ya Allah terimalah
taubatku, terimalah doaku, kuatkanlah hujjahku, tunjukilah hatiku, jagalah
lisanku dan hilangkan rasa dengki dari hatiku”.
(H.R Abu Dawud dan Imam Ahmad, dari
Ibnu Abbas).
Insya
Allah ada manfaatnya bagi kita semua. Wallahu A'lam. (632)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar