MEMULIAKAN TETANGGA
Oleh :
Azwir B. Chaniago
Muqaddimah.
Secara asal, manusia itu adalah
makhluk sosial yang butuh hidup berkelompok, bermasyarakat, berdampingan
terutama untuk memenuhi berbagai kebutuhannya. Berkelompok atau hidup berdampingan
yang paling dekat adalah hidup bersama
tetangga. Saling kenal, saling menghormati, saling membantu dan yang lainnya lainnya.
Dizaman ini, terutama di kota besar
ada sebagian manusia yang memiliki tetangga, bersebelah rumah tetapi tidak saling kenal mengenal bahkan sangat jarang atau hampir tidak pernah
bertemu. Apalagi untuk saling tolong menolong. Mungkin mereka, Wallahu A’lam :
(1) Merasa bahwa dia mampu memenuhi semua kebutuhannya sehingga tidak butuh
kepada tetangga (2) Merasa tetangganya lebih rendah derajatnya sehingga tidak
perlu bergaul dengannya (3) Merasa tetangganya orang yang tinggi derajatnya
sehingga dia merasa rendah diri untuk bergaul dengannya, ataupun tersebab hal hal lainnya.
Siapa yang dimaksud dengan tetangga.
Bayangan kita umumnya, tetangga
adalah orang orang yang disebelah rumah kita, ya ini tidak salah. Baik di
sebelah kiri atau kanan, di depan atau di belakang. Ketahuilah bahwa para ulama
berbeda pendapat mengenai siapa yang dimaksud tetangga. Ada yang mengatakan :
(1) Tatangga adalah orang yang shalat shubuh bersamamu dimasjid. (2) Tetangga
adalah 40 rumah dari setiap sisi. (3) Tetangga adalah 40 rumah disekitarmu. (4)
Tetangga adalah 10 rumah dari setiap sisi, dan ada pendapat lainnya (Fathul
Bari).
Namun demikian pendapat pendapat
itu, kata sebagian ulama adalah berdasarkan riwayat riwayat yang kurang kuat.
Syaikh al Albani berkata : Semua riwayat (yang dikatakan) dari Nabi yang
berbicara tentang batasan tetangga adalah lemah. Tidak ada yang shahih. Oleh
karena itu maka pembatasan yang benar adalah sesuai dengan kebiasaan masyarakat
yang berlaku. (Lihat Silsilah Hadits Dha’if). Jadi menurut Syaik al Albani : Jika dalam
adat atau kebiasaan masyarakat, jarak tertentu masih dianggap tetangga di
masyarakat itu, maka itulah tetangga.
Tiga macam tetangga.
Didalam Islam membina hubungan baik
dengan tetangga bukan terbatas pada
sesama muslim saja tapi juga termasuk orang orang non muslim. Dikisahkan dari
Abdullah bin Amr bin ‘Ash, bahwa beliau pada suatu kali menyembelih seseokor
kambing. Lalu beliau berkata kepada pembantunya. : Apakah engkau telah memberikan hadiah
(daging kambing) itu pada tetangga kita yang orang Yahudi itu ?. Aku mendengar
Rasulullah bersabda : “Jibril menasehatiku tentang tetangga, hingga
aku mengira bahwa tetangga itu akan mendapat bagian harta waris”. (H.R Imam
Bukhari)
Oleh karena itu, para ulama menjelaskan bahwa ada tiga macam
tetangga. (1) Tetangga muslim yang memiliki hubungan kerabat dengan kita, maka
ia memiliki tiga hak, yaitu : hak tetangga, hak kekerabatan dan hak sesama
muslim. (2) Tetangga muslim yang tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan
kita, maka ia memiliki dua hak, yaitu : hak tetangga dan hak sesama muslim. (3)
Tetangga non muslim, maka ia memiliki satu hak yaitu hak tetangga.
Memuliakan tetangga
Kedudukan tetangga bagi seorang
muslim sangatlah besar dan penting. Bahkan sikap terhadap tetangga dalam Islam
bukan sekedar menghormati atau memuliakan tapi berkaitan dengan iman seorang
hamba.
Rasulullah bersabda : “Man kaana yu’minu billahi wal yaumil akhiri
fal yukrim jaarah” Barangsiapa yang
beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya ia muliakan tetangganya. (H.R
Imam Bukhari dan Imam Muslim).
Dalam surat an Nisa’ ayat 36, Allah
Ta’ala mengingatkan agar kita berbuat baik kepada baik yang ada hubungan
kerabat maupun tidak. Allah berfirman :
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan
berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib kerabat, anak anak yatim, orang
orang miskin, tetangga yang memiliki hubungan kerabat dan tetangga yang bukan
kerabat, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang orang yang sombong dan membangga banggakan diri”.
Begitu penting dan utamanya
hubungan baik dengan tetangga, sampai sampai Jibril menasehati Rasulullah,
sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan
Imam Muslim. Rasulullah bersabda : “Maa
zaala jibrilu yuushiinii bil jaari hatta zhanantu annahu sayuwari-uh” .
Jibril menasehatiku tentang tetangga, hingga aku mengira bahwa tetangga itu
akan mendapat bagian harta waris.
Syaikh Utsaimin, dalam Syahr
Riyadush Shalihin menjelaskan : Bukan
berarti dalam hadits ini Jibril mensyariatkan bagian harta waris untuk tetangga
karena Jibril tidak mempunyai hak dalam hal itu. Namun maknanya, beliau
(Rasulullah) sampai mengira akan turun wahyu yang mensyariatkan tetangga mendapat bagian waris. Ini menunjukkan betapa
ditekankannya wasiat Jibril tersebut kepada Rasulullah Salallahu ‘alaihi
Wasallam.
Insya Allah bermanfaat bagi kita
semua. Wallahu A’lam (527)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar