HAKIKAT KAYA
ADALAH KAYA HATI
Oleh : Azwir B. Chaniago
Di
zaman ini kebanyakan manusia bekerja keras untuk mendapatkan kekayaan berupa
harta yang berlimpah. Mereka terlihat seperti tidak ada puasnya. Mereka
disibukkan mencari harta, memelihara dan mengembangkan harta. Padahal yang
mereka buru yaitu berupa harta dunia tidaklah menjamin seseorang akan bisa
hidup layak dan nyaman.
Terkadang kita menyaksikan seorang
hamba yang beriman tidak memiliki harta tetapi bisa menjalani hidup dengan baik.
Allah berfirman : “Man ‘amila shaalihan,
min dzakarin au untsaa wahuwa mu’minun fala nuhyiyannahu hayaatan thaiyibah.
Wala najziyannahum ajrahum bi ahsani maa kaanuu ya’maluun”.
Barangsiapa yang melakukan amal shalih,
baik laki laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan
kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan
pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (Q.S an Nahal 97).
Sungguh
Rasulullah telah mengingatkan bahwa kaya bukanlah kaya harta dunia tetapi kaya
hati yaitu hati yang selalu merasa cukup.
Dari Abu Hurairah, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda : “Laisal ghina ‘an katsratil
‘aradhi, wa lakinil ghina ghinan nafsi”. Kaya
bukanlah diukur dengan banyaknya kemewahan dunia. Namun kaya adalah hati yang selalu merasa cukup.
(H.R. Imam Bukhari dan Imam Muslim)
Dalam
riwayat Ibnu Hibban, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi nasehat
berharga kepada sahabat Abu Dzar. Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu berkata : Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku : “Wahai Abu Dzar, apakah engkau
memandang bahwa banyaknya harta itulah yang disebut kaya (ghani) ? “Betul,”
jawab Abu Dzar. Beliau bertanya lagi : “Apakah engkau memandang bahwa
sedikitnya harta itu berarti fakir ? “Betul, Abu Dzar menjawab dengan jawaban
serupa. Lantas beliau pun bersabda : “Sesungguhnya yang namanya kaya adalah kayanya hati (hati yang selalu merasa
cukup). Sedangkan fakir adalah fakirnya hati (hati yang selalu merasa tidak
puas).” (H.R Ibnu Hibban).
An
Nawawi rahimahullah mengatakan : Kaya yang terpuji adalah kaya hati.
Hati yang selalu merasa puas dan tidak tamak dalam mencari harta dunia dan
segala perhiasannya. Kaya yang terpuji bukanlah dengan banyaknya harta dan
terus menerus ingin menambah dan terus menambah. Karena barangsiapa yang terus
mencari dalam rangka untuk menambah, ia tentu tidak pernah merasa puas.
Sebenarnya ia bukanlah orang yang kaya hati. (Syarah Shahih Muslim)
Ibnu
Baththal rahimahullah mengatakan : (1) Hakikat kekayaan sebenarnya
bukanlah dengan banyaknya harta. Karena ada banyak orang yang diluaskan rizki
berupa harta oleh Allah, namun ia tidak pernah merasa puas dengan apa yang
diberi. (2) Orang seperti ini selalu berusaha keras untuk menambah dan terus
menambah harta. Ia pun tidak peduli dari manakah harta tersebut ia peroleh. (3)
Orang semacam inilah yang seakan-akan begitu fakir karena usaha kerasnya untuk
terus menerus memuaskan dirinya dengan harta.
Namun
demikian tidaklah berarti orang yang beriman dilarang memiliki harta yang
banyak. Yang dilarang adalah janganlah harta menjadikan seseorang lalai dalam
mempersiapkan bekal untuk menuju negeri akhirat. Bukankah beberapa sahabat
seperti Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin ‘Auf adalah sahabat yang terkenal
kaya raya. Tapi kekayaannya tidaklah melalaikannya untuk mendekatkan diri
kepada Allah Ta’ala.
Rasulullah
bersabda : “Tidak apa-apa dengan kaya bagi orang yang bertakwa. Dan sehat
bagi orang yang bertakwa itu lebih baik dari kaya. Dan bahagia itu bagian dari
kenikmatan.” (H.R Ibnu Majah dan Imam Ahmad, dishahihkan oleh Syaikh al
Albani).
Insya Allah ada manfaatnya bagi kita
semua. Wallahu A’lam (556).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar