BAGAIMANA MENYIKAPI ORANG YANG BERSALAH
Oleh : Azwir B. Chaniago
Rasulullah bersabda : “Kullubni aadam khaththaun, wa khairul
khatthainat tawwabun” Setiap anak Adam banyak berbuat salah dan sebaik baik
orang yang berbuat salah adalah yang bertaubat. (H.R Imam at Tirmidzi, Ibnu
Majah, ad Darimi, dihasankan oleh Syaikh al Albani).
Kesalahan itu bisa terjadi dalam hal aqidah, ibadah, akhlak
dan muamalah. Untuk itu maka setiap
muslim haruslah saling mengingatkan dan berusaha meluruskan setiap kesalahan
saudaranya. Janganlah dibiarkan saudara kita larut dalam kesalahan. Bantulah
dia dengan nasehat yang baik.
Jika kita melihat seseorang jatuh dari motor, misalnya, maka kita akan
segera membantu sesuai dengan keadaannya tanpa diminta. Apalagi jika dia jatuh
atau terpeleset dalam suatu urusan aqidah, ibadah, akhlak ataupun muamalah, tentu
lebih pantas dan lebih utama untuk kita bantu dengan nasehat.
Tulisan ini tidak hendak membahas bagaimana cara memberi
nasehat terhadap saudara kita yang berbuat kesalahan. Tapi yang ingin
dibicarakan disini adalah bagaimana sikap seorang muslim jika melihat
saudaranya yang melakukan kesalahan atau tergelincir kepada suatu kesalahan.
Diantaranya adalah :
Pertama : Jangan tergesa gesa dalam menyalahkan.
Jika kita melihat ada saudara kita yang melakukan kesalahan
dalam syariat ataupun muamalah, maka janganlah tergesa gesa dalam menyalahkan
apalagi sampai mencelanya. Pastikan dulu bahwa yang dia lakukan itu betul betul
suatu kesalahan yang pantas diingkari dan diberi nasehat untuk perbaikan.
Syaikh Said bin Jubair seorang Tabiin senior, seorang yang
berilmu, ahli tafsir, murid Ibnu Abbas,
jika beliau melihat seseorang melakukan suatu ibadah berbeda dengan yang
beliau ketahui dan yang beliau amalkan maka beliau tidak langsung menyalahkan.
Beliau mengambil sikap baik sangka dulu. Beliau akan berkata dalam dirinya :
(1) Orang ini mungkin belum tahu (2)
Orang ini mungkin lupa (3) Orang ini mungkin terpaksa atau (4) Orang ini
lebih tahu daripada saya.
Setelah berfikir yang demikian positif barulah beliau bertanya
kepada orang tersebut kenapa dia melakukan seperti itu. Tidak seperti yang
diketahui beliau. Pada hal beliau adalah orang yang sangat berilmu, sangat
‘alim, tapi tidak tergesa gesa dalam
menyalahkan. Bandingkan dengan
sebagian orang orang di zaman sekarang.
Begitu melihat saudaranya melakukan
suatu ibadah yang berbeda dengan yang dipahami dan yang diamalkannya maka
langsung disalahkan bahkan sampai ada yang mencela. Padahal ilmunya, jika
dibandingkan dengan Said bin Jubair tentu masih sangat jauh.
Ada satu kisah tentang tidak dianjurkannya untuk tergesa gesa
dalam menyalahkan seseorang. Kisah ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari. Pada
suatu kali Umar bin Khaththab berkata : Aku mendengar Hisyam bin Hizam membaca
surat al Furqan. Bacaan Hisyam banyak sekali bedanya dengan apa yang aku
ketahui. Tidak pernah aku mendengan Rasulullah membaca (surat al Furqan)
seperti itu. Lalu aku bertanya kepada Hisyam : Siapa yang mengajarimu
membacanya seperti itu. Jawab Hisyam : Yang mengajariku membaca seperti itu
adalah Rasulullah. Aku (Umar bin Khatthab) berkata : Engkau berdusta wahai
Hisyam. Sesungguhnya Rasulullah telah mengajariku tapi bacaannya tidak seperti
yang kamu baca tadi.
Maka aku pergi bersama Hisyam untuk menemui Rasulullah.
Setelah menemui Rasulullah aku berkata kepada beliau : Sesungguhnya orang ini
telah membaca surat al Furqan dengan bacaan yang engkau belum pernah
mengajarkannya kepada kami.
Rasulullah bersabda : Bacalah wahai Hisyam. Maka Hisyam
membaca seperti yang telah aku dengar darinya.
Lalu Rasulullah bersabda : Bacaan seperti ini juga benar sebagaimana
yang diturunkan. Kemudian Rasulullah bersabda : Bacalah wahai Umar. Maka aku
membacanya seperti bacaan yang diajarkan Rasulullah kepadaku.
Rasulullah lalu bersabda : Bacaan seperti ini juga benar
seperti yang diturunkan. “Sesungguhnya al Qur an ini diturunkan dengan tujuh
bacaan, maka bacalah apa yang mudah darinya.”
Jadi sangatlah dianjurkan bagi setiap muslim untuk berhati
hati dan tidak tergesa gesa menyalahkan saudaranya.
Kedua : Jangan bosan memberi nasehat.
Seseorang yang akan memberi nasehat hendaklah berniat untuk
memberi nasehat terus menerus, sabar jangan merasa bosan. Nasehat satu kali belum diperhatikan tapi nasehat berikutnya
mungkin berkesan dan mendapat perhatian.
Allah berfirman : “Wadz dzakkir fainna dzikraa tanfa’ul
mu’miniin” Dan tetaplah (terus
menerus) memberi peringatan, karena peringatan itu bermanfaa bagi orang orang
beriman. (Q.S adz Dzariat 55).
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim disebutkan
bahwa Usamah bin Zaid berkata : “Rasulullah pernah mengutus kami dalam satu
peperangan. Dalam peperangan tersebut aku mendapati seorang musyrik sudah
terdesak. Lalu dia mengucapkan Laa ilaha ilallah, tapi aku membunuhnya. Aku
kabarkan kejadian tersebut kepada Nabi
dan beliau bersabda : Apakah kamu membunuh jiwa seorang yang telah mengucapkan
Laa ilaha ilallah ? Aku berkata : Wahai Rasulullah, dia mengucapkan kalimat
tersebut karena takut pedang.
Rasulullah bersabda : Apakah kamu sudah membelah dadanya
hingga kamu tahu bahwa dia mengucapkan kalimat tersebut karena takut pedang. Rasulullah
terus menerus mengulangi ucapannya kepadaku hingga
aku berangan angan seandainya aku baru masuk Islam ketika itu.”
Ketiga : Bersikap santun kepada orang yang bersalah.
Apabila ada seseorang yang melakukan kesalahan hendaklah
disikapi dengan santun dan tenang. Jangan berlaku kasar kepadanya. Jika kita
berlaku kasar kepada orang yang bersalah maka berlaku kasar itupun juga suatu
kesalahan yang pantas pula untuk dinasehati. Ini namanya menindihkan kesalahan
kepada kesalahan.
Telah datang banyak hadits dan kisah kisah yang menjelaskan
bagaimana Rasulullah senantiasa tenang dan berlaku santun terhadap orang yang
bersalah.Diriwayatkan bahwa pada suatu kali ada seorang Arab Badui buang air
kecil di masjid. Para sahabat merasa
geram melihatnya. Rasulullah bersikap santun dan memberi nasehat kepada orang
ini dengan sabda beliau : “Sesungguhnya Masjid adalah tempat beribadah kepada
Allah dan bukanlah tempat membuang kotoran. (H.R Imam Muslim).
Keempat : Meluruskan kesalahan dengan dalil.
Meluruskan kesalahan atau memberi nasehat sebisa mungkin
dengan dalil. Ini akan memberikan kepuasan kepada yang disalahkan atau yang
diberi nasehat. Sungguh hati akan menjadi tenteram jika sesuatu perbuatan atau
amal dilandasi dalil yang shahih.
Ada sebuah contoh, misalnya di masjid. Setelah adzan subuh
ada seorang jamaah yang tidak melakukan shalat sunat sebelum shalat subuh atau
biasa juga disebut dengan shalat sunat Fajr. Kita bisa memberi nasehat dengan
berkata : Wahai saudaraku shalat sunatlah dua rakaat sebelum shalat subuh.
Nasehat seperti ini sudah baik. Tapi akan lebih baik lagi dengan menyebut
dalilnya. Katakan kepadanya : “Wahai saudaraku, shalat sunatlah dua rakaat
sebelum shalat subuh. Rasulullah telah bersabda : Rak’atal fajri khairun minad
dun-ya wamaa fiih. Dua rakat shalat sunat fajr lebih baik dari pada dunia dan
segala isinya.”
Insya Allah jika diingatkan dengan menyebutkan dalilnya tentu
akan lebih berkesan bagi yang menerima nasehat.
Kelima : Meluruskan kesalahan dengan metode ta’lif.
Metode ta’lif adalah salah satu cara atau pendekatan terhadap
orang yang bersalah. Caranya adalah dengan tetap bermuka manis kepadanya. Tidak
serta merta menunjukkan wajah permusuhan. Dianjurkan untuk mengunjunginya,
menjawab salamnya dan memberi salam kepadanya. Dan cara cara lain yang
menunjukkan simpatik.
Umumnya orang yang didekati dengan metode ta’lif ini akan lunak hatinya. Jika hatinya lunak
maka mudah untuk menerima kebenaran dan
diberi nasehat guna memperbaiki kesalahannya.
Itulah lima sikap yang ada baiknya dipelihara sebelum
memberikan nasehat kepada saudara saudara kita yang melakukan kesalahan.
Wallahu a’lam. (131)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar