MENGANGKAT SUARA MELEBIHI NABI
Oleh : Azwir B. Chaniago
Seorang muslim wajib untuk
beradab kepada Rasulullah. Diantaranya adalah jika berbicara dengan
Rasulullah, maka seseorang tidak mengangkat suara melebihi suara beliau sebagai
salah satu bentuk kecintaan dan penghormatan.
Allah memperingatkan tentang
hal itu dalam firman-Nya : “Ya aiyuhal ladzina aamanuu laa tarfa’uu
ashwaatakum fauqa shautin nabiyyi, walaa tajharuu lahuu bilqauli kajahri
ba’dhikum liba’din, an tahbatha a’malukum wa antum laa tasy’uruun”. Wahai
orang orang yang beriman. Janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara
Nabi. Dan janganlah kamu berkata
kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kamu
terhadap yang lain, nanti (pahala) segala amalmu bisa terhapus sedangkan kamu
tidak mengetahui. (Q.S al Hujuurat 2)
Syaikh as Sa’di berkata : Ini adalah adab terhadap Rasulullah
ketika berbicara dengan beliau. Artinya orang yang berbicara dengan Rasulullah
tidak boleh meninggikan suaranya melebihi suara Rasulullah. Tidak boleh
mengeraskan suara dihadapan Rasulullah. Ketika berbicara dengan beliau suara
harus dilirihkan dengan sopan, lembut seraya mengagungkan dan memuliakan beliau
karena Rasulullah bukanlah seperti salah seorang dari kalian. Untuk itu bedakanlah
ketika berbicara dengan beliau sebagaimana kalian membedakan hak haknya
terhadap umatnya. Kalian wajib mencintainya dengan sebenar benar kecintaan
dimana keimanan tidak bisa sempurna tanpanya. Tanpa melaksanakan hal itu
dikhawatirkan akan bisa menggugurkan amalan seorang hamba sedangkan dia tidak
merasa. (Kitab Taisir Tafsir Kariimir Rahman).
Imam Ibnul Qayyim mengingatkan : Apabila mengangkat suara lebih tinggi daripada suara beliau itu
menjadi sebab terhapusnya amalan, lantas bagaimana dengan orang orang yang
mendahulukan akal mereka, perasaan mereka, politik mereka atau pengetahuan
mereka daripada ajaran yang beliau
bawa dan mengangkat itu semua
diatas sabda sabda beliau. Bukankah itu semua lebih pantas lagi untuk
menjadi sebab terhapusnya amal mereka. (Adh Dhau’ al Munir ‘ala Tafsir)
Oleh karena beliau sudah wafat tentu kita tidak memiliki lagi
kesempatan untuk berbicara dengan
Rasulullah. Namun demikian jika tidak berhati hati sehingga salah dalam menyikapi perintah dan larangan beliau
maka boleh jadi kita termasuk orang orang yang dimaksud oleh Imam Ibnul Qayyim.
Yaitu orang orang yang lebih pantas terhapus amalnya. Na’dzubillahi min
dzaalik.
Wallahu a’lam. (138)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar