BERTANYA TAPI SUDAH TAHU
Oleh : Azwir B. Chaniago
Muqaddimah
Saat ini sangatlah banyak sarana
atau media yang
memudahkan kita untuk belajar ilmu agama. Bisa melalui lembaga pendidikan
formal, non formal,
kajian atau melalui berbagai media yang tersedia baik buku, majalah, vcd, internet dan banyak lagi yang lainnya. Jadi masalah belajar sekarang ini
bukan lagi soal sarana atau materi pelajaran tapi masalah semangat dan kemauan serta
pengaturan waktu untuk belajar.
Duduk di majlis ilmu lebih utama.
Tapi ketahuilah bahwa sarana paling utama dan sangat dianjurkan dalam
menuntut ilmu khususnya ilmu agama adalah dengan belajar langsung yaitu duduk
dihadapan seorang yang berilmu seperti ustadz, guru, dosen dan semacamnya. Bahkan ada ilmu yang sangat sulit bahkan tidak mungkin
berhasil dengan belajar sendiri seperti ilmu membaca al Qur an.
Diantara keutamaan hadir langsung
di majelis ilmu adalah sebagaimana sabda Rasulullah : ‘Idza marartum
biriyadhil jannah farta’u.” Apabila kalian berjalan melewati taman-taman surga
maka perbanyaklah berdzikir. Para sahabat bertanya : Wahai Rasulullah, apakah
yang dimaksud dengan taman-taman surga. Beliau menjawab : Yaitu halaqah-halaqah
dzikir.
Atha’ bin Rabbah berkata :
Majelis dzikir adalah majelis (yang dipelajari padanya) tentang halal dan
haram, bagaimana harus membeli, menjual, berpuasa, mengerjakan shalat, menikah,
bercerai, melakukan haji dan yang sepertinya (Al Khatib al Baghdhadi).
Lukmanul Hakim seorang ahli
hikmah, menasehati anaknya dan berkata : Wahai anakku duduklah (belajar) dengan
para ulama. Rapatkanlah lututmu dengan mereka, karena Allah akan menghidupkan
hatimu dengan cahaya hikmah sebagaimana Allah akan menghidupkan tanah yang
gersang dengan curahan air hujan. (Imam Malik bin Anas, al Muwatha’).
Diriwayatkan dari Wahab bin
Jarir, dari ayahnya ia berkata : Aku belajar dengan Imam Hasan al Bashri selama
tujuh tahun. Aku tidak pernah absen dari majelisnya satu haripun (Imam Adz
Dzahabi, Syi’ar A’lam an Nubala’.)
Begitulah ulama-ulama terdahulu
mengutamakan hadir langsung di majelis ilmu
Bertanya di majlis ilmu.
Pada setiap kajian biasanya ustadz, guru atau pemateri
menyediakan kesempatan kepada peserta atau jamaah yang hadir untuk bertanya.
Ini adalah sesuatu yang sangat baik dan bermanfaat.
Hukum asal bertanya adalah untuk
sesuatu yang belum diketahui dan penanya ingin mengetahuinya. Syaikh Muhammad
bin Shalih al Utsaimin berkata : Bertanya adalah kebutuhan seseorang karena
tidak mengetahui.
Allah berfirman : “Fas’alu aladz dzikri inkuntum la ta’lamun. Bertanyalah kepada yang berilmu jika
engkau tidak mengetahui (Q.S. al Anbiyaa’ 7).
Namun demikian tidaklah dianggap tercela jika
seseorang bertanya di
majlis ilmu tentang sesuatu yang sebenarnya dia sudah mengetahui. Jika seseorang yang sedang belajar dalam satu kajian lalu dia
merasa banyak peserta yang lain yang menurut perkiraan penanya belum
tahu tentang suatu hal
maka dia boleh bertanya kepada pengajar meskipun dia sudah tahu. Jadi
boleh bertanya dengan niat tarbiyah yaitu memberi pengajaran kepada peserta yang
lain karena yang ditanyakan adalah suatu yang penting dan ustdaz atau guru mungkin
lupa menjelaskannya.
Jibril bertanya dalam rangka mengajarkan.
Perhatikanlah hadits Jibril yang
diriwayatkan dari Umar bin Khathab. Jibril bertanya kepada Rasulullah tentang
Islam, Iman dan Ihsan. Setelah dijawab oleh Rasulullah lalu Jibril berkata “sadaqta-engkau
benar”. Kata Umar : Kami heran
kepadanya, ia yang bertanya dan ia pula yang membenarkan.
Jadi dalam hal ini Jibril sudah mengetahui jawaban dari apa yang
ditanyakannya kepada
Rasulullah salalahu ‘alaihi wasallam. Jibril bertanya adalah
dalam rangka tarbiyah yaitu sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah pada bagian
akhir hadits tersebut : Wahai Umar tahukah kamu siapa yang
bertanya itu tadi. Aku menjawab : Allah dan RasulNya yang lebih tahu.
Lalu Rasulullah bersabda : “Fainnahu jibrilu ataakum yu’alimukum diinakum” Sesungguhnya
ia adalah Jibril yang datang kepada kalian untuk mengajari kalian tentang urusan
agama kalian. H.R Imam Muslim).
Mungkin seperti suatu ungkapan : Sudah gaharu cendana pula,
sudah tahu bertanya pula. Kenapa tidak, asalkan untuk sesuatu yang bermanfaat.
Wallahu a’lam (144)