RASA MALU MENGHALANGI PERBUATAN
MAKSIAT
Oleh :
Azwir B. Chaniago
Rasulullah bersabda : “Inna mimma adrakan naassu min kalaamin
nubuwatil uula. Idzaa lam tastahyi fashna’ ma syi’ta. Sesungguhnya salah
satu perkara yang telah diketahui manusia (secara turun temurun) dari kalimat
kenabian terdahulu adalah : Jika engkau tidak malu maka berbuatlah
sesukamu.(H.R Imam Bukahri dan juga diriwayatkan oleh 9 ahli hadits selainnya).
Inti pokok hadits ini adalah : Jika
engkau tidak malu maka berbuatlah sesukamu. Lalu apa makna kata malu. Malu adalah satu kata yang mencakup perbuatan
menjauhi segala apa yang dibenci. (Ibnu Hibban al Busti).
Syaikh Salim bin ‘Ied al Hilaly
berkata : (1) Malu adalah akhlak yang
mendorong seseorang untuk meninggalkan perbuatan buruk dan tercela. (2) Menghalangi
seseorang dari melakukan dosa dan maksiat. (3) Mencegahnya dari sikap
melalaikan hak orang lain.
Selanjutnya tentang kalimat : “Jika
engkau tidak malu berbuatlah sesukamu”. Para ulama, diantaranya Syaikh
Utsaimin, memberikan beberapa makna, yaitu :
Pertama : Sebagai perintah dan peringatan.
Maksudnya adalah, jika engkau telah
pastikan tidak malu dihadapan Allah Ta’ala dan dihadapan manusia karena
perbuatan itu baik dan halal maka kerjakanlah.
Imam an Nawawi berkata : Perintah tersebut
adalah dalam arti pembolehan. Maksudnya adalah sekiranya engkau hendak
mengerjakan sesuatu maka jika itu adalah hal yang engkau tidak merasa malu
kepada Allah dan manusia untuk mengerjakannya maka lakukanlah perbuatan itu.
Kedua : Sebagai bentuk ancaman.
Ini adalah gaya bahasa mengancam.
Maksudnya jika engkau tidak tahu malu maka kerjakanlah sesuakamu. Dan pada
waktunya engkau harus mempertanggung jawabkan apa yang telah engkau kerjakan.
Ketiga : Sebagai bentuk berita.
Maksudnya adalah bahwa yang mencegah
manusia yang fitrahnya baik, dari zaman ke zaman terhadap kemaksiatan adalah
rasa malu yang dimilikinya. Rasa malu akan mencegah kemaksiatan dan membuat
orang melakukan kebaikan jika fitrahnya masih baik. Orang yang punya rasa malu
paham betul bahwa Allah Maha Mengetahui, Maha Mendengar dan Maha Melihat.
Dari ketiga hal tersebut, jumhur
ulama mengatakan bahwa yang lebih kuat adalah pendapat pertama yaitu jika sudah
pasti engkau tidak malu di hadapan Allah dan di hadapan manusia (untuk
mengatakan atau melakukan sesuatu) maka kerjakanlah.
Seorang hamba sangatlah dianjurkan
untuk memelihara sikap malu ini karena sifat malu memiliki banyak keutamaan dan
akan mendatangkan kebaikan, diantaranya
adalah :
Pertama : Malu adalah salah satu cabang iman.
Sungguh terdapat keterkaitan yang
kuat antara malu dengan iman bahkan merupakan salah satu cabangnya. Rasulullah
bersabda : “Al iimaan bidh’un wa sab’uun
au sittuuna syu’bah. Fa afdhaluha qaulu lailaha ilallah wa adnaahaa imaathtul
adza ‘anith thaariq. Wal hayaa’u syu’batun minal iimaan”.
Iman memiliki lebih dari 70 atau 60
cabang. Cabang yang paling tinggi adalah perkataan Laa ilaaha ilallah dan yang
paling rendah adalah menyingkirkan duri (gangguan) dari jalan. Dan malu adalah
salah satu cabang iman. (H.R Imam Bukhari dan Imam Muslim).
Rasulullah bersabda : Al hayaa’u wal iimaanu qurinaa jamii’aa. Fa
idza rufi’a ahaduhumaa rufi’al akharu. Malu dan iman senantiasa bersama.
Apabila salah satunya dicabut maka hilanglah yang lainnya. (H.R al Hakim dan
ath Thabrani).
Kedua : Malu hakikatnya mendatangkan kebaikan.
Rasa malu akan senantiasa mengajak
pemiliknya untuk berhias dengannya dan menjauhkan dari sifat sifat rendah dan
hina. Rasulullah bersabda : “Al hayaa’u
laa ya’ti illa bi khairin”. Malu itu tidak mendatangkan (sesuatu) kecuali
kebaikan (Mutafaq ‘alaihi).
Imam Muslim meriwayatkan : “Al hayaa’u khairun kulluhu”. Malu itu
seluruhnya baik.
Seorang sahabat pernah mengecam
saudaranya dalam hal malu, seolah olah ia berkata kepada saudaranya : Sungguh
malu telah merugikanmu. Lalu Rasulullah bersabda : Da’huu fa innal hayaa’a minal iman”. Biarkan dia, karena malu
termasuk iman. (H.R Imam Bukhari).
Ketiga : Malu penghalang untuk melakukan kemaksiatan.
Berapa banyak kita menyaksikan
manusia yang suka berbuat buruk bahkan
menzhalimi terhadap sesama. Sebab
paling utama adalah karena mereka tidak
memiliki sifat malu. Bahkan terkadang masih
bisa tertawa dihadapan kamera media masa meskipun telah melakukan suatu
perbuatan yang sangat tercela. Seorang hamba yang memiliki rasa malu dan
fitrahnya baik pastilah dia merasa
terhalang untuk melakukan kemaksiatan serta berbagai perbuatan tercela.
Abu Ubaid al Harawi berkata :
Maknanya bahwa orang yang (punya sifat) malu itu berhenti dari perbuatan
maksiatnya karena rasa alunya. Sehingga rasa malu itu menjadi seperti iman yang
mencegah antara dia dengan makksiat. (Fathul Baari).
Keempat : Malu akan mengantarkan ke surga.
Rasulullah salallahu ‘alaihi
wasallam bersabda : “Al hayaa’u minal
iimaan. Wal iimaanu fil jannah wal badzaa’ minal jafa’I wal faja’u finnaar”. Malu
bagi dari iman, sedangkan iman tempatnya di surga. Dan perkataan kotor bagian
dari tabiat kasar, sedangkan tabiat kasar tempatnya di neraka. (H.R Imam
Ahmad, dishahihkan oleh Syaikh al
Albani).
Itulah sebagian keutamaan sifat
malu yang hakikatnya akan menghalangi
seorang hamba untuk melakukan perbuatan maksiat. Insya Allah ada manfaatnya
bagi kita semua. Wallahu A’lam. (1.028)
Sangat membantu...thanks
BalasHapus