ORANG BERIMAN BERKEWAJIBAN MENJAGA SIFAT MALU
Oleh :
Azwir B. Chaniago
Muqaddimah.
Salah satu kewajiban yang harus terus
menerus dipelihara oleh setiap hamba Allah adalah sifat malu. Malu kepada Allah dan malu kepada
manusia. Sifat malu haruslah mewarnai
perkataan dan perbuatannya.
Sifat malu hakikatnya adalah baik
dan mendatangkan kebaikan. Rasa malu
akan senantiasa mengajak pemiliknya untuk berhias dengannya dan menjauhkan dari
sifat sifat rendah dan hina. Rasulullah bersabda : “Al hayaa’u laa ya’ti illa bi khairin”. Malu itu tidak mendatangkan
(sesuatu) kecuali kebaikan (Mutafaq ‘alaihi).
Imam Muslim meriwayatkan : “Al hayaa-u khairun kulluhu”. Malu itu
seluruhnya baik.
Seorang sahabat pernah mengecam
saudaranya dalam hal malu, seolah olah ia berkata kepada saudaranya : Sungguh
malu telah merugikanmu. Lalu Rasulullah bersabda : Da’huu fa innal hayaa’a minal iman”. Biarkan dia, karena malu
termasuk iman. (H.R Imam Bukhari).
Syaikh Salim bin ‘Ied al Hilaly
berkata : (1) Malu adalah akhlak yang
mendorong seseorang untuk meninggalkan perbuatan buruk dan tercela. (2)
Menghalangi seseorang dari melakukan dosa dan maksiat. (3) Mencegahnya dari
sikap melalaikan hak orang lain.
Jika tidak malu berbuatlah sesukamu
Rasulullah mengingatkan kita bahwa
rasa malu adalah perkara yang termasuk dalam kalimat kenabian dari dahulu. Rasulullah
bersabda : “Inna mimma adrakan naassu min
kalaamin nubuwatil uula. Idzaa lam tastahyi fashna’ ma syi’ta. Sesungguhnya
salah satu perkara yang telah diketahui manusia (secara turun temurun) dari
kalimat kenabian terdahulu adalah : Jika engkau tidak malu maka berbuatlah
sesukamu.(H.R Imam Bukahri dan juga diriwayatkan oleh 9 ahli hadits selainnya).
Inti pokok hadits ini adalah : Jika
engkau tidak malu maka berbuatlah sesukamu. Lalu apa makna kata malu. Malu adalah satu kata yang mencakup perbuatan
menjauhi segala apa yang dibenci. (Ibnu Hibban al Busti).
Rasulullah mengingatkan bahwa
terdapat keterkaitan yang kuat antara malu dengan iman yaitu merupakan salah
satu cabangnya. Rasulullah bersabda : “Al
iimaan bidh’un wa sab’uun au sittuuna syu’bah. Fa afdhaluha qaulu lailaha
ilallah wa adnaahaa imaathtul adza ‘anith thaariq. Wal hayaa’u syu’batun minal
iimaan”.
Iman memiliki lebih dari 70 atau 60
cabang. Cabang yang paling tinggi adalah perkataan Laa ilaaha ilallah dan yang
paling rendah adalah menyingkirkan duri (gangguan) dari jalan. Dan malu adalah
salah satu cabang iman. (H.R Imam Bukhari dan Imam Muslim).
Rasulullah bersabda : Al hayaa-u wal iimaanu qurinaa jamii’aa. Fa
idza rufi’a ahaduhumaa rufi’al akharu. Malu dan iman senantiasa bersama.
Apabila salah satunya dicabut maka hilanglah yang lainnya. (H.R al Hakim dan
ath Thabrani).
Rasa malu membuat seseorang berprilaku terpuji
Ketahuilah bahwa sifat atau
perasaan malu akan mendatangkan ‘iffah yaitu
terjaganya kehormatan diri. Bukankah banyak manusia jatuh harga diri dan
kehormatannya bahkan menjadi hina karena tidak memelihara sifat malu.
Oleh karena itu al Imam Ibnu Hibban
mengingatkan bahwa : (1) Wajib bagi orang orang yang berakal untuk bersikap
malu terhadap sesama manusia. Diantara berkah mulia yang didapat dari
membiasakan diri bersikap malu adalah terbiasa berprilaku terpuji dan menjauhi
sikap tercela. (2) Bila rasa malunya lebih dominan maka semakin kuat pula prilaku
baiknya sedangkan prilaku buruknya akan melemah. Tapi sebaliknya, jika rasa
malunya melemah maka sikap buruknya menguat dan kebaikannya meredup.
Ibnu Hibban juga mengingatkan : (1)
Siapa yang hilang rasa malunya pasti hilang pula kebahagiaannya. (2) Siapa yang
hilang kebahagiaannya pasti akan hina dan dibenci manusia. (3) Siapa yang
dibenci manusia pasti disakiti (4) Siapa yang disakiti pasti akan bersedih. (5)
Siapa yang bersedih pasti akan memikirkannya. (6) Siapa yang pikirannya
tertimpa ujian maka sebagian besar ucapannya menjadi dosa dan tidak
mendatangkan pahala baginya. (7) Siapa yang sedikit rasa malunya ia akan
berbuat sekehendaknya dan berucap apa yang disukainya.
Syaikh Salim bin ‘Ied al Hilaly
berkata : (1) Malu adalah akhlak yang
mendorong seseorang untuk meninggalkan perbuatan buruk dan tercela. (2)
Menghalangi seseorang dari melakukan dosa dan maksiat. (3) Mencegahnya dari
sikap melalaikan hak orang lain.
Adakah sifat malu yang tercela ?.
Malu pada haikatnya adalah baik.
Namun jika ada perasaan yang membuat seseorang sungkan melakukan ketaatan maka
itu tidak disebut dengan malu. Ini bukan malu yang bermakna kebaikan. Ini
adalah kelemahan atau perasaan rendah diri dan masuk kategori malu yang tercela
karena perasaan malu telah menghalanginya untuk memperoleh kebaikan.
Jika seseorang merasa malu belajar
ilmu syar’i seperti belajar al Qur-an, tata cara shalat yang benar karena umur
sudah lanjut, malu menampilkan keislaman, malu shalat ke masjid karena tidak
pernah dan yang lainnya, maka ini tercela. Sungguh tidak ada istilah malu dalam
ketaatan selama perbuatan itu sesuai dengan syariat.
Imam Mujahid mengingatkan : Tidak
akan mendapat ilmu orang yang malu dan orang yang sombong. (Atsar shahih,
diriwayatkan oleh Imam Bukhari).
Al Qadhi Iyadh berkata : Malu yang
menyebabkan seseorang menyia nyiakan berbagai hak bukanlah malu yang disyariatkan.
Bahkan ini sebagai ketidak mampuan atau kelemahan (Fathul Bari).
Tidak punya malu berarti lebih buruk dari manusia zaman Jahiliyah.
Di zaman ini ada manusia yang tidak
memiliki rasa malu sehingga mereka berbuat sesukanya berbicara seenaknya. Memalukan
dalam ucapan dan perbuatan. Sebagian manusia di zaman ini tidak malu berbohong,
tidak malu memberikan kesaksian palsu. Tidak malu membela kemungkaran bahkan kekufuran
juga dibela.
Mereka tidak malu melakukan berbagai perbuatan
tercela bukan hanya di kala sendirian.
Tidak diketahui orang lain, tapi juga dihadapan orang banyak. Mereka
berbuat maksiat tanpa malu. Ini adalah sikap yang lebih buruk dari kafir Quraisy di
zaman Jahiliah yang masih musyrik.
Ketahuilah bahwa ternyata bagi
kafir Quraisy adalah aib untuk melakukan sesuatu yang memalukan. Rasa
malu telah mencegahnya dari perbuatan bohong meskipun untuk menceritakan
sesuatu tentang keburukan musuh di mata mereka. Mereka sangat malu dan khawatir
kalau sampai dicap sebagai pembohong.
Dalam sebuah hadits yang cukup
panjang disebutkan oleh Imam Bukhari yaitu ketika Abu Sufyan, pemuka kafir
Quraisy diajak berdialog dan ditanya oleh Hiraklius pembesar Rumawi tentang
Rasulullah Salallahu ‘alaihi wasallam. Abu Sufyan tidaklah mengatakan suatu
kebohongan tentang Rasulullah meskipun Abu Sufyan masih kafir dan sangat
membenci serta memusuhi Islam.
Abu Sufyan berkata tentang
dialognya dengan Hiraklius : Demi Allah, kalau bukan karena malu yang aku
khawatirkan dan dituduhkan oleh mereka sebagai pembohong, niscaya aku berbohong
kepadanya (maksudnya berbohong kepada Hiraklius tentang Rasulullah, pen.).
Oleh karena itu seorang hamba Allah
selalu akan menjaga rasa malunya terutama kepada Allah Ta’ala dan juga terhadap
manusia. Dengan demikian insya Allah dirinya akan terpelihara dari keburukan
dan kehinaan. Wallahu A’lam. (1.041).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar