KHALIFAH UMAR SANGAT HATI
HATI DENGAN HARTA SYUBHAT
Oleh :
Azwir B. Chaniago
Sungguh Khalifah Umar bin Khaththab
dan para sahabat sangatlah berhati
bahkan takut kepada harta syubhat
apalagi yang haram. Tentang kewajiban menjauhi harta syubhat dijelaskan
dalam sabda Rasulullah, yaitu : “Barang siapa yang meninggalkan
barang syubhat maka sungguh ia telah membersihkan agama dan kehormatannya. Dan
barang siapa yang menjerumuskan (dirinya) kedalam syubhat berarti dia telah
terjatuh pada keharaman. Seperti penggembala yang menggembala di sekitar daerah
larangan maka hampir hampir ia masuk kedalamnya …. (H.R
Bukhari dan Muslim).
Syaikh Abdul Muhsin al ‘Abbad seorang ahli hadits dan
pengajar tetap di Masjid Nabawi, berkata : Perkara yang syubhat atau samar adalah
tidak termasuk perkara yang jelas kehalalannya dan tidak termasuk pula yang
jelas keharamannya. Ini tidak diketahui oleh banyak orang dan hanya diketahui
oleh sebagian mereka.
Beliau menambahkan : Perkara yang samar jika dijauhi maka
akan mendatangkan (1) Keselamatan bagi
agama seseorang yaitu hubungan antara
dia dengan Allah Ta’ala. (2) Keselamatan bagi kehormatannya yaitu hubungan
mereka dengan manusia, sehingga manusia tidak punya jalan untuk menodai
kehormatannya. (Syarah Arbain Nawawiyah)
Ada satu atsar tentang Khalifah Umar memperingatkan anaknya
tentang harta syubhat. Atsar ini disebutkan oleh Imam Malik bin Anas bahwa
Abdullah dan Ubaidilah keduanya adalah anak Khalifah Umar bin Khaththab ikut
dalam pasukan perang yang diutus (dari Madinah) ke Irak. Sebelum (pasukan)
kembali ke Madinah mereka mampir ke kota Bashrah menemui Abu Musa al ‘Asy’ari,
Gubernur di kota Bashrah.
Abu Musa menitipkan kepada keduanya sejumlah uang Negara yang
hendak dikirimkan kepada Khalifah Umar bin Khatthab di Madinah. Abu Musa
berkata : Uang ini saya pinjamkan kepada kalian berdua. Lalu kalian beli barang perniagaan dari Irak dan
kalian jual di Madinah. Setelah itu kalian serahkan kepada Khalifah uang Negara
dan labanya milik kalian berdua.
Sesampainya di Madinah mereka menjual barang perniagaan dari
Irak dan memperoleh keuntungan. Lalu mereka menyerahkan surat dari Gubernur
Bashrah kepada Khalifah Umar yang berisi bahwa ia menitipkan uang Negara
melalui Abdullah dan Ubaidillah, serta mengizinkan mereka memperdagangkannya.
Umar lalu bertanya kepada kedua anaknya (Abdullah dan
Ubaidillah) : Apakah seluruh pasukan yang ikut dalam perjalanan tersebut
mendapatkan pinjaman yang sama seperti kalian ?. Mereka menjawab : Tidak.
Umar berkata : Karena kalian berdua anak Khalifah maka Abu
Musa memberikan kalian modal (dengan menggunakan uang Negara). Sekarang
serahkan seluruh modal dan labanya ke baitul maal, perbendaharaan Negara.
Abdullah diam, tidak menjawab. Adapun Ubaidillah memberanikan
diri dan berkata : Wahai Amirul Mukminin, tidak pantas engkau perintahkan
seperti itu !. Karena bukankah jika perniagaan kami rugi kami tetap mengganti
harta Negara (yang dititipkan kepada kami secara penuh).
Salah seorang yang hadir dalam majlis itu berkata : Wahai
Amirul Mukminin, buatlah jadi mudharabah (bagi hasil). Umar menyetujuinya, maka
modal dan setengah laba diambil Umar dan diserahkan ke baitul maal dan setengah
laba dibagi untuk Abdullah dan Ubaidillah. (Lihat al Muwatha’).
Begitulah sangat hati hatinya beliau dengan
harta syubhat dan berusaha menghindarinya. Lalu bagaimana kalau kisah ini
terjadi pada orang orang zaman sekarang ?. Kemungkinan besar akhir ceritanya
menjadi lain. Wallahu A’lam. (861).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar