ARAHKAN ANAK SUPAYA BELAJAR ILMU SYAR’I
Oleh :
Azwir B. Chaniago
Belajar ilmu adalah salah satu
jalan kebaikan yang utama bahkan merupakan kewajiban setiap muslim.
Rasulullah bersabda : “Thalibul ‘ilmi faridhatun ‘ala kulli muslim”.
Menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim (H.R Imam Ahmad dan Imam Ibnu
Majah). Diantara pakar bahasa Arab ada yang mengatakan bahwa kata fardhu
bermakna wajib sedangkan faridhatun bermakna sangat wajib. Ini adalah salah
satu dalil yang tegas tentang wajibnya menuntut ilmu bagi seorang muslim.
Seorang hamba yang dimudahkan Allah
Ta’ala untuk bersemangat belajar ilmu tentang agama ini maka itu adalah suatu
pertanda bahwa Allah Ta’ala menghendaki kebaikan baginya. Rasulullah bersabda :
“Man yuridillahu bihi khairan yufaqqih-hu
fiddiin”. Barangsiapa yang dikehendaki
kebaikan oleh Allah, maka Allah akan memahamkan dia terhadap urusan
agama (H.R Imam Bukhari, Imam Muslim dan at Tirmidzi).
Sungguh sangatlah banyak manfaat
belajar ilmu syar’i dan ilmu ilmu lainnya yang berguna bagi kaum muslimin.
Diantaranya juga adalah sebagaimana Rasulullah bersabda : “Man salaka thariiqan yaltamisu fihi ‘ilman sahhalallahu lahu thariiqan
ilal jannah.” Barangsiapa menempuh suatu jalan untuk mencari ilmu (agama)
maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga. (H.R at Tirmidzi)
Sungguh berbahagialah setiap orang
tua yang telah mampu mengarahkan anak anaknya menempuh jalan untuk belajar ilmu di sekolah sekolah agama,
pesantren, universitas yang mengajarkan ilmu al Qur-an dan as Sunnah sesuai dengan
pemahaman salaful ummah. Dengan demikian akan memudahkan anak anaknya menjadi
orang orang yang shalih yang juga akan memberikan manfaat yang besar bagi kedua
orang tuanya.
Insya Allah, jika memiliki anak
yang shalih dengan jalan belajar ilmu agama maka orang tua akan menikmati
hasilnya bukan hanya di dunia tapi juga di akhirat kelak. Rasulullah bersabda :
“Idza maatal insaanun qatha-‘a ‘amaluhu
illaa min tsalaatsin : shadaqatun jaariyatun, wa ‘ailmun yuntafa’u bihi, wa
waladun shalihun yad’uulahu”. Apabila seorang manusia telah meninggal dunia
maka terputuslah semua amalannya kecuali tiga perkara : shadaqah jariyah, ilmu
yang bermanfaat dan anak shalih yang mendoakan (H.R at Tirmidzi, dishahihkan
oleh Syaik al Albani).
Bahkan orang tua yang memiliki anak
anak yang shalih karena telah memudahkan dan mengarahkan anak anaknya dalam
belajar ilmu agama, maka dia akan memperoleh derajat yang tinggi di akhirat
kelak. Rasulullah bersabda : “Innar
rajula laturfa’u darajatuhu fiil jannati fayaquulu : anna haadzaa ? Fayuqaalu :
bistighfaari waladika laka”. Sesungguhnya ada seseorang yang diangkat
derajatnya di surga kemudian dia berkata : Atas sebab apa derajatku dinaikkan
?. Maka dikatakan kepadanya, dengan istighfar dipanjatkan anakmu untukmu. (H.R
Ibnu Majah).
Sebenarnya sangatlah banyak saudara
saudara kita yang ingin mengarahkan anak anaknya untuk belajar ilmu agama di
sekolah sekolah Islam bahkan dipesantren. Ini adalah keinginan yang sangat
baik. Cuma saja segala sesuatu rencana yang baik akan didatangi oleh
penghalangnya yang banyak. Diantaranya adalah :
Pertama : Adalah karena kelemahan manusia itu sendiri. Begitu datang
semangat untuk mengarahkan anak belajar ilmu agama lalu melemah. Memang manusia
itu diciptakan dalam keadaan lemah. Allah
berfirman : “Wa khuliqal insaanu dha’iifaa”. Dan manusia diciptakan
dalam keadaan lemah. (Q.S an Nisaa’ 28.)
Syaikh
as Sa’di berkata : Manusia itu adalah lemah dalam hal fisik, lemah dalam
berkehendak, lemah dalam bertekad dan lemah dalam iman dan
kesabaran (Lihat Tafsir Kariimir Rahman).
Oleh karena itu berjuanglah untuk keluar dari
kelemahan dan kurang semangat dalam hal ini. Bayangkanlah kebaikan dan
keutamaan yang banyak dan akan diperoleh dengan mengarahkan anak untuk
belajar ilmu agama. Dan jangan lupa memohon pertolongan Allah Ta’ala.
Kedua : Lingkungan masyarakat kita yang kurang
mendukung. Bahkan jika seseorang akan mengarahkan anaknya masuk ke pesantren
lalu orang orang disekitar bahkan teman temannya akan melemahkan semangat.
Diantaranya ada yang mengatakan kalau seorang tamat dari pesantren atau
perguruan tinggi Islam, dia akan sulit
mendapat pekerjaan atau dengan kata lain rizkinya akan pas pasan. Kalaupun
tidak kekurangan tapi sulit untuk
mendapatkan harta yang banyak.
Namun demikian ketahuilah bahwa mencari harta
yang banyak tidaklah wajib sementara itu menuntut ilmu adalah kewajiban setiap
muslim. Selain itu perlu pula dimaklumi bahwa apabila seorang hamba menuntut
ilmu dengan niat yang lurus dan mengamalkannya dengan niat yang ikhlas maka Allah
Ta’ala berjanji akan memberikan penghidupan yang baik baginya.
Allah
berfirman : “Man ‘amila shaalihan min
dzakarin au untsaa wa huwa mu’minun fa lanuhyiyannahu, hayaatan thaiyibatan wa
lanajziyannahum ajrahum bi ahsani maa kaanuu ya’maluun”. Barangsiapa
mengerjakan amal shalih, baik laki laki maupun perempuan dalam keadaan beriman
maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan
Kami berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang
telah mereka kerjakan. (Q.S an Nahl 97).
Ketiga : Terkadang juga kita sering mendengar komentar yang kurang nyaman dari
sebagian manusia yang berkata : Jarang kita
menemukan orang ‘alim, seperti ustadz dan kiyai yang
kaya, memiliki harta berlimpah berupa mobil dan rumah yang mewah. Tapi
kita melihat banyak orang yang sedikit memiliki ilmu agama tapi mempunyai ilmu
yang lain justru bisa memiliki kekayaan dan harta yang banyak.
Mungkin
komentar ini sebagian ada benarnya. Namun demikian ketahuilah saudaraku bahwa
mengukur kenikmatan, kebahagian hidup dengan harta dunia adalah suatu yang
kurang tepat atau bisa jadi keliru. Barangkali ada sebagian manusia yang
memiliki harta yang banyak dan menjalani hidup dengan bahagia. Tapi tidak
jarang pula orang orang yang memiliki sedikit harta tapi juga bisa menjalani
hidup dengan hati yang penuh kenikmatan dan kebahagiaan.
Sungguh
kekayaan yang hakiki bukanlah kaya harta tapi kaya jiwa. Rasulullah bersabda : “Laisal ghina ‘an katsratil ‘aradhi,
walaakinal ghina, ghina nafsi” Kekayaan (yang sesungguhnya) bukanlah dengan banyaknya harta. Akan tetapi
kekayaan itu adalah kekayaan jiwa. (H.R Imam Bukhari)
Dalam
riwayat yang lain disebutkan pula bahwa Rasulullah bersabda : Dari Abu Dzar, ia
berkata bahwa Rasulullah bersabda : Wahai Abu Dzar, apakah kamu mengira bahwa
banyaknya harta itu adalah kekayaaan ?. Aku (Abu Dzar) berkata, Iya wahai
Rasulullah. Rasulullah bertanya lagi : Apakah kamu mengira sedikitnya harta
adalah kemiskinan ?. Aku menjawab, Iya wahai Rasulullah. Kemudian Rasulullah
bersabda : Sebenarnya kaya yang sesungguhnya itu adalah kaya hati dan miskin
yang sesungguhnya itu adalah miskin hati. (H.R Ibnu Hibban, dishahihkan oleh
Syaikh al Albani)
Semoga
penjelasan yang sedikit ini akan mendorong orang orang yang beriman untuk terus berusaha mengarahkan anak anaknya supaya
mengutamakan belajar ilmu agama diatas segala ilmu yang lain yang bermanfaat
bagi kaum muslimin.
Wallahu A’lam. (380)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar