LARANGAN MEMINTA JABATAN
Oleh : Azwir B. Chaniago
Hukum asal meminta
jabatan.
Hukum asal meminta jabatan didalam syari’at Islam adalah
tidak dibolehkan atau dilarang. Jabatan hanya boleh diterima jika diberikan dan
tidak dengan diminta.
Dari Abdurrahman bin Samurah, dia berkata bahwa
Rasulullah telah bersabda : “Ya ‘abdarrahmani laa tas-al imaarata, fa
innnaka in u’thiitahaa ‘an mas-alatin wukilta ilaihaa wa-in u’thitahaa ‘an
ghairi mas-alatin u’inta ‘alaihaa” Wahai Abdurrahman, janganlah kamu meminta
pangkat kedudukan. Apabila kamu diberi karena kamu memintanya maka hal itu akan
menjadi suatu beban yang berat bagimu. Lain halnya apabila kamu diberi dengan
tidak adanya permintaan darimu, maka kamu akan ditolong (H.R Imam Muslim).
Imam an Nawawi berkata : Hadits ini memberikan faedah bahwa
kita dilarang meminta jabatan, meminta jadi hakim dan mengatur urusan keuangan
dan yang lainnya. Barangsiapa memaksakan diri meminta, dia tidak akan ditolong
oleh Allah dan tidak mungkin beres urusannya. Maka janganlah meminta jabatan
(Lihat Syarah Shahih Muslim).
Imam al Bukhari dalam Kitab Shahihnya membuat satu judul bab
“Larangan mencari dan memburu Kedudukan” dan dalam bab ini beliau membawakan
hadits dari Abu Musa.
Abu Musa berkata : “Aku menemui Nabi bersama dua orang
dari kaumku. Lantas satu diantara kedua orang itu mengatakan : Jadikanlah kami
pejabat wahai Rasulullah. Orang kedua juga mengatakan permintaan yang sama.
Spontan Rasulullah bersabda : Kami tidak akan memberikan jabatan ini kepada orang
yang memintanya. Tidak juga kepada orang yang memilki ambisi terhadapnya”. (H.R
Imam Bukhari).
Dari Abu Dzar bahwasanya ia berkata : “Saya pernah
bertanya kepada Rasulullah Salalllahu ‘alaihi wasallam : Wahai rasulullah,
mengapa engkau tidak memberikan tugas (jabatan) kepadaku ?. Sambil menepuk
pundakku, beliau bersabda : Wahai Abu Dzar sesungguhnya kamu ini orang yang
lemah sedangkan tugas yang kamu minta itu merupakan sebuah amanah. Ketahuilah
bahwasanya pada hari Kiamat kelak, amanah tersebut merupakan sesuatu yang akan
mendatangkan kenistaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mengembannya
dengan benar serta memenuhi segala kewajiban amanah yang telah dibebankan
kepadanya (H.R Imam Muslim).
Kenapa dilarang meminta jabatan.
Pertama : Memang Rasulullah, dalam banyak hadits melarang umatnya untuk meminta
jabatan dan kedudukan. Jika Rasulullah melarang sesuatu pastilah disitu ada
mudharat padanya. Dalam hal ini posisi kita adalah : Sami’na wa ata’na. Kami
dengar dan kami patuh. Tidaklah boleh kita mencari cari alasan dengan
menggunakan akal dan ilmu kita yang sangat sedikit untuk menyelisihi
Rasulullah.
Kedua : Para ulama menjelaskan diantara sebab sebab pelarangan meminta jabatan
dalam Islam.
1. Syaikh Muhammad
bin Shalih al Utsaimin berkata : Meminta jabatan boleh jadi niatnya agar bisa
menguasai manusia, membanggakan diri (dengan jabatannya, pen.) Menguasai hak
hak mereka, memerintah dan melarang, sehingga niatnya tidak baik, maka dia
tidak mendapatkan kenikmatan di akhirat. Oleh karena itu kita berlindung kepada
Allah dari fitnah ambisi kepemimpinan (Syarah Riyadush Shalihin)
2. Syaikh Salim bin
Id al Hilali berkata : Islam tidak memberikan jabatan kepada orang yang
memintanya, karena kepemimpinan adalah
amanah yang cukup besar. Dan tanggung jawabnya cukup besar bahayanya. Maka
orang yang jadi pemimpin hendaknya benar benar menjaga amanah dan tidak
mengkhianati hukum Allah (Bahjatun Nazhirin Syarh Riyadush Shalihin).
Ketahuilah bahwa para sahabat adalah orang orang yang dipilih
Allah mendampingi Nabi-Nya untuk menegakkan Islam. Sahabat adalah orang orang
yang Allah ridha kepada mereka dan mereka ridha kepada Allah. Mereka adalah
orang orang yang lurus akidahnya, sangat baik amalnya, mulia akhlaknya dan
sangat baik dalam bermuamalah. Rasulullah bersabda : “Khairunnas qarni” Sebaik
baik manusia adalah pada masa ku ini. (Mutafaq ‘alahi)
Dengan keadaan yang demikian Rasulullah tetap melarang para
sahabat meminta jabatan, kecuali jika diberi atau ditugaskan.
Ulama ulama terdahulu berebut menolak jabatan.
Pada suatu kali, Khalifah Umar bin Abdul Aziz akan mengangkat
seseorang untuk menjadi Qadhi (Kepala Pengadilan) di Bashrah. Pada zaman itu
jabatan sebagai qadhi adalah suatu jabatan yang sangat bergengsi di masyarakat.
Khalifah menugaskan seorang kepercayaannya setingkat mentri
yaitu Adi bin Arthas, untuk memilih satu diantara dua orang yang sangat berilmu
dan pantas menduduki jabatan Qadhi, yaitu : Iyas bin Muawiyah al Muzani atau al
Qasim bin Rabi’ah al Haritsi. Kedua orang ini adalah ulama besar di zamannya.
Kedua ulama ini yaitu Iyas dan al Qasim diundang untuk bertemu Adi
bin Arthas. Membuka pertemuan tersebut Adi bin Arthas berkata : Saya ditugaskan
Khalifah untuk mengangkat satu diantara anda berdua untuk menjadi Qadhi di
Bashrah. Bagaimana pendapat anda.
Calon pertama : Iyas bin Muawiyah al Muzani.
Iyas berkata : Saya
tidak pantas menjadi Qadhi karena sungguh saya melihat ada yang lebih cocok dan
lebih baik daripada saya untuk menduduki jabatan itu, yakni al Qasim. Untuk mendukung pendapatnya,
Iyas menceritakan kebaikan dan keutamaan
yang banyak tentang al Qasim dibanding dirinya.
Calon kedua : Al Qasim bin Rabi’ah al Haritsi.
Giliran al Qasim berbicara : Sungguh saya tidak pantas
menjadi Qadhi karena ada yang lebih baik
dan lebih mampu daripada saya
untuk memegang jabatan ini yaitu
Iyas bin Muawiyah. Lalu al Qasim menguraikan panjang lebar tentang kelebihan
dan keutamaan Iyas dibanding dirinya.
Tidak ada diantara dua
calon ini yang menyebutkan secuilpun tentang keutamaan dirinya apalagi berpromosi untuk bisa diangkat menjadi Qadhi.
Sebenarnya kedua calon ini tidak menolak tapi mereka beranggapan bahwa dia
tidak lebih baik dari calon yang lain. Begitulah gambaran ketawadhu’ an orang
shalih dan berilmu saat itu.
Akhirnya setelah diskusi yang panjang dan mendengarkan
berbagai argumentasi diantara dua calon untuk tidak memilih dirinya, maka Adi
bin Arthas berkata : Kita tidak boleh keluar dari ruangan ini sebelum
diputuskan siapa yang akan menjadi Qadhi karena ini adalah amanah dari Khalifah
kepada saya. Untuk itu izinkan saya mengambil keputusan dan harap anda
menerimanya. Saya memutuskan untuk mengangkat Iyas bin Muawiyah sebagai Qadhi.
(Kitab Jejak Tabi’in, DR. Abdurrahman Basya)
Lalu bagaimana jika dibandingkan dengan keadaan kita saat
ini. Masih adakah orang orang yang merasa bahwa dirinya tidak pantas untuk
menduduki suatu jabatan ? Ataukah masih banyak yang meminta bahkan berebut
jabatan. Kita boleh berprasangka baik, mudah mudahan semua itu dilakukan dengan
niat ikhlas dalam rangka mencari ridha Allah semata.
Lalu bagaimana jika dibandingkan dengan keadaan manusia di
zaman ini dalam hal jabatan ?
Allahu A’lam. (188)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar