HUJAN ADALAH RAHMAT ALLAH
Oleh : Azwir B. Chaniago
Muqaddimah
Allah menurunkan hujan
kepada kita kapan saja dan dimana saja Dia berkehendak. Ketahuilah bahwa
berbicara tentang hujan sebenarnya kta bicara tentang rahmat Allah yang
diturunkan kepada kita berupa air yang mensucikan, sebagaimana dijelaskan Allah
dalam firman-Nya : Wahuwal ladzi arsalar riyaaha busyram baina yadai
rahmatihii, wa anzalnaa minas samaa-i maa-an
thahuuraa. Dialah yang meniupkan angin (sebagai) pembawa kabar
gembira dekat sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan). Dan kami turunkan dari
langit air yang mensucikan (Q.S al Furqan 48).
Selain sebagai rahmat, Allah menjelaskan kepada kita
bahwa hujan adalah salah satu tanda kebesaran Allah. Allah
menjelaskan pula bahwa bumi ini gersang, tandus lalu
disiram hujan menjadi subur. Allah berfirman : “Dan sebagian
dari tanda tanda (kebesaran) Nya. Engkau melihat bumi itu kering dan tandus,
tetapi apabila Kami turunkan hujan diatasnya, niscaya dia bergerak dan subur.
Sesungguhnya (Allah) yang menghidupkannya pasti dapat menghidupkan yang mati.
Sesungguhnya Dia Mahakuasa atas segala sesuatu” (Q.S Fusilat 39).
Hujan bukan musibah.
Kenyataan yang kita lihat disebagian negeri kita adalah bahwa
hujan telah mendatangkan banjir, longsor, kemacetan dimana mana dan yang
lainnya.
Ketahuilah bahwa hakikatnya hujan tidaklah mendatangkan
musibah karena Allah yang berfirman bahwa hujan adalah rahmat. Jika Allah
berfirman bahwa hujan adalah rahmat lalu sebagian manusia mengatakan musibah,
maka yang benar pastilah apa yang difirmankan Allah.
Sungguh Allah tidak akan pernah menzhalimi hambanya karena
Allah mengharamkan kezhaliman bagi diri-Nya. Dari Abu Dzarr al Ghifari, dari
Rasulullah salallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana beliau riwayatkan dari Allah,
bahwa Dia berfirman :”Wahai hamba-Ku, sesungguhnya Aku telah mengharamkan
kezhaliman atas diri-Ku dan Aku telah mengharamkannya atas kalian, maka
janganlah kalian saling menzhalimi” (Hadits Qudsi, diriwayatkan oleh Imam
Muslim)
Musibah tersebab dosa manusia
Sungguh Allah Ta’ala telah mengingatkan kita dalam firmanNya
:“Wamaa ashaabakum min musiibatin fabima kasabat aidiikum wa
ya’fuu ‘an kasyiir” Dan musibah apa saja yang menimpa kamu adalah karena
perbuatan tanganmu sendiri dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan
kesalahanmu). Q.S asy Syuura 30.
Para ulama menjelaskan bahwa kasabat aidiikum, perbuatan
tanganmu dalam ayat ini maknanya adalah dosa dosa kalian.
Ketahuilah bahwa umat terdahulu seperti kaum
Nabi Nuh yang durhaka diadzab dengan banjir besar. Sungguh banjir itu datang
bukan karena mereka membuang sampah sembarangan atau karena pengrusakan
lingkungan, pembalakan liar dan penggundulan hutan tetapi mereka diadzab karena
dosa dosa mereka terutama kesyirikan dan menolak ajaran Nabi Nuh.
Kita memahami bahwa merusak lingkungan, buang sampah
sembarangan, penggundulan hutan memang salah satu pemicu musibah banjir. Tapi
sekali lagi dikatakan bahwa penyebab paling utama adalah dosa dosa manusia yang
belum bertaubat.
Mari kita merenung sejenak sambil bertanya pada diri kita. Di
negeri kita ini, khususnya di Jabodetabek, dosa apa yang belum pernah dilakukan
manusia. Semua sudah dilakukan. Mulai dari dosa yang paling besar seperti
mengolok olok ayat ayat Allah, melakukan kesyirikan, pembunuhan, perampokan, korupsi,
perzinaan dan yang lainnya sudah sangat banyak terjadi. Juga termasuk kelalaian
yang amat sangat dari sebagian kita untuk melaksanakan perintah Allah khususnya
ibadah.
Atas semua dosa ini sebagian besar kita belum betul betul
bertaubat. Kalaupun ada mungkin belum memenuhi syarat syarat taubat yang
syar’i. Bukankah ini berpotensi untuk menjadi penyebab datangnya murka Allah
Subahanahu wa Ta’ala dan bermuara kepada musibah.
Komentar buruk terhadap hujan.
Selain itu, secara khusus adalah juga dosa dosa tersebab
kelakuan kita dalam menyikapi dan menerima rahmat Allah berupa hujan.
Perhatikanlah komentar sebagian manusia yang suka berburuk
sangka kepada Allah. jika melihat hujan mau turun. Ada
diantara kita berkomentar sesukanya,
seperti :
Pertama : Ini bakal banjir lagi, longsor lagi, macet lagi. Padahal belum tentu
terjadi.
Kedua : Kalau bisa jangan ada hujan
hari ini. Makna dari komentar ini adalah kalau bisa jangan ada rahmat Allah
hari ini. Jadi rahmat Allah ditolak.
Ketiga : Alhamdulillah hari ini tidak hujan, maknanya adalah alhamdulillah hari
ini tidak ada rahmat Allah. Seolah olah mereka senang kalau rahmat Allah tidak
datang . Ketahuilah bahwa rahmat Allah bermakna kasih sayang Allah.
Komentar komentar buruk ini juga akan mendatangkan murka atau
adzab Allah. Bukankah mencela hujan adalah sama dengan mencela perbuatan dan
ketetapan dari Dzat yang menurunkan hujan yaitu Allah Ta’ala. Akibatnya, Allah
mengalihkan hujan dari rahmat menjadi adzab.
Satu hal lagi yang juga akan mendatangkan murka Allah adalah
kelakuan sebagian manusia yang suka menyelisihi Rasulullah termasuk dalam cara
menyikapi hujan. Sungguh orang orang yang menyelisihi apa yang diajarkan
Rasulullah maka Allah akan mendatangkan baginya cobaan bahkan adzab yang pedih.
Allah berfirman : “Falyahdzaril ladzina yukhaalifuuna ‘an
amrihii an tushibahum fitnatun au yushibahum ‘adzabun aliim”. Maka hendaklah orang orang yang menyelisihi
perintahnya (perintah Rasulullah) takut akan mendapat cobaan atau adzab yang
pedih. (Q.S an Nuur 63).
‘Adzabun alim atau adzab yang pedih bermakna adzab terhadap
fisik seperti diri sendiri, keluarga, harta dan juga non fisik berupa
ketakutan, kecemasan dan yang lainnya.
Diantara yang juga akan mendatangkan musibah adalah sangat
sedikitnya syukur kita terhadap nikmat nikmat Allah. Allah berfirman :
“Wala-in kafartum inna ‘adzaabii lasyadiid.” Tetapi jika kamu mengingkari
(nikmat-Ku) maka adzabku sangat pedih.
(Q.S Ibrahim 7).
Mari kita periksa diri kita. Baru seberapa besar syukur kita
kepada nikmat nikmat Allah yang kita
peroleh. Mungkin banyak lalai kita dalam bersyukur.
Bagaimana Rasulullah menyikapi hujan
Sungguh Rasulullah adalah uswah hasanah, contoh teladan yang
baik, bagi kita dalam segala hal, baik dalam aqidah, ibadah, akhlak dan
muamalah. Dalam menyikapi hujan beliau juga telah memberikan teladan bagi kita.
Diantaranya adalah :
Pertama : Begitu melihat mendung, awan hitam pertanda akan turun hujan, beliau
berobah wajahnya menunjukkan kecemasan. Ketika ditanya Aisyah kenapa beliau
demikian cemas, beliau menjawab : Ya Aisyah tidak ada yang bisa menjamin bahwa
dengan awan hitam ini Allah tidak akan menurunkan bala karena dosa dosa kita.
Lalu bandingkanlah sikap beliau dengan sikap kita saat ini
jika melihat awan hitam. Hampir tidak ada diantara kita yang menunjukkan
kecemasan. Manusia beranggap bahwa itu adalah fenomena alam biasa, yang dari
dulu juga begitu.
Kedua : Begitu hujan mulai turun beliau berdoa yaitu sebagai konsekwensi dari
kecemasan tadi. Kita umumnya tidak berdoa karena tidak memiliki rasa cemas
apapun.
Doa yang beliau baca adalah : “Allahumma shaiyiban
naafi’an” Ya Allah jadikanlah hujan
ini hujan yang bermanfaat.
Ketiga : Jika beliau di perjalanan lalu hujan turun, beliau tidak langsung
berteduh tapi membuka tutup kepala atau sebagian dari penutup lengan atau
bagian tubuh beliau untuk dibiarkan langsung kena hujan setelah itu baru
berteduh.
Melihat ini maka Anas bin Malik bertanya : Ya Rasulullah
kenapa engkau melakukan seperti itu. Beliau bersabda : Bahwa hujan ini baru
turun langsung dari Rabbnya. Belum ada yang menyentuh sehingga nikmatnya belum
berkurang.
Keempat : Pada saat hujan turun beliau banyak berdoa meminta apa saja yang
beliau inginkan, karena pada saat hujan turun adalah salah satu waktu atau
keadaan doa diijabah.
Kelima : Jika hujan telah berhenti maka beliau berdoa dan memuji Allah :
“Muthirna bifadhlihi wa rakhmatihi” Kami telah (diberi hujan) dengan karunia
dan rahmat-Nya. (H.R Imam Bukhari dan Imam Muslim).
Doa ini juga menjadi dalil bahwa hujan adalah karunia dan
rahmat Allah.
Semoga tulisan ini ada
manfaatnya bagi kita semua. Wallahu A’lam. (184)
|
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus