CARA MENINGKATKAN NILAI IBADAH
Oleh : Azwir B. Chaniago
Sungguh dengan kehendakNya, Allah telah menciptakan dan
menempatkan manusia di muka bumi untuk satu tujuan saja yaitu beribadah atau
mengabdi kepada-Nya. Tidak ada kegunaan lain. Allah berfirman : “Wamaa
khalaqtul jinna wal insa illaa
liya’buduun” Dan Aku tidaklah
menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku (Q.S adz
Dzaariat 56).
Dalam menjalani kehidupan dimuka bumi, manusia memang
memiliki berbagai keadaan dan posisi. Ada yang memiliki banyak harta ada yang
sedikit harta. Ada yang berpangkat ada pula yang tidak berpangkat ataupun
keadaan yang lainnya. Tapi ketahuilah bahwa semua keadaan dan posisi itu
haruslah dalam rangka untuk mengabdi atau beribadah kepada Allah.
Alhamdulillah, kita telah berusaha melakukan kewajiban kita
untuk mengabdi kepada Allah melalui
ibadah fardhu dan ibadah ibadah sunnah. Namun demikian sangatlah penting bagi
kita untuk tidak lupa memeriksa,
melakukan evaluasi atau muhasabah setiap saat terhadap ibadah ibadah yang telah
kita lakukan. Barangkali masih ada yang kurang nilai atau kualitasnya.
Evaluasi ini sangat diperlukan sebagai salah satu upaya untuk
meningkatkan nilai ibadah kita dari waktu waktu selama umur masih ada. Bukankah
kita sungguh sungguh ingin
mempersembahkan ibadah dan pengabdian
terbaik kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Harapan kita semua adalah
semakin baik ibadah kita maka akan semakin baik pula ganjaran yang akan kita
peroleh.
Allah berfirman : “Hal
jazaa-ul ihsani illal ihsaan” Tidak ada balasan kebaikan
melainkan kebaikan (pula). Q.S ar
Rahman 60.
Sungguh, ada banyak cara dan usaha yang bisa dilakukan untuk
meningkatkan nilai ibadah seorang hamba disisi Allah, diantaranya adalah :
Pertama : Selalu menjaga dan meningkatkan keikhlasan.
Ketahuilah bahwa keikhlasan
merupakan landasan paling pokok dalam
melakukan amal ibadah, bahkan merupakan salah satu syarat sahnya amalan seorang hamba. Sungguh keikhlasan
seorang hamba dalam beribadah akan melipat gandakan pahala atau nilai
ibadahnya.
Allah berfirman : “Wallahu yudha’ifu limaiyasyaa-u,
wallahu waasi’un ‘aliim” Dan Allah melipat gandakan (pahala) bagi siapa
yang dia kehendaki. Dan Allah Mahaluas dan Mahamengetahui. (Q.S al Baqarah
261).
Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa pelipat gandaan pahala ini
adalah berdasarkan keikhlasannya dalam beramal.
Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda: "Apabila seorang dari kalian memperbaiki
keIslamannya maka dari setiap kebaikan akan ditulis baginya
sepuluh (kebaikan) yang serupa hingga tujuh ratus
tingkatan, dan setiap satu kejelekan yang dikerjakan akan ditulis satu
kejelekan saja yang serupa dengannya". (H.R Imam Bukhari dan Imam Muslim).
Imam Ibnu Rajab
al Hambali berkata tentang hadits ini : Bahwa pelipat gandaan sampai sepuluh
kali lipat pasti terjadi. Sedangkan tambahan yang lebih dari itu tergantung
kepada kebaikan nilai Islam seseorang dan keikhlasan niatnya serta
keutamaan amalan tersebut.
Kedua : Perhatian yang sungguh sungguh terhadap ittiba’
Makna ittiba’ adalah mengikuti. Dalam hal ini yang dimaksud
dengan ittiba’ adalah mengikuti cara beragama (manhaj) Rasulullah salallahu
‘alaihi wasallam.
Para ulama tidak berbeda pendapat bahwa salah satu syarat
diterimanya ibadah adalah ittiba’ yaitu
mengikuti apa yang diajarkan oleh Rasulullah salallahu ‘alaihi wasallam.
Allah berfirman : “Wamaa aataakumur rasuulu fa khudzuuhu,
wamaa nahaakum ‘anhu fantahuu,wattaqullaha, innallaha syadiidul ‘iqaab” Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka
terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah
kepada Allah, sungguh Allah sangat keras hukuman-Nya. (Q.S al Hasyr 7).
Allah berfirman : “Qul inkuntum tuhibbunallaha fat
tabi’unii, yuhbibkumullahu wa yaghfir lakum dzunuubakum, wallahu ghafuurur
rahiim”. Katakanlah (Muhammad),
jika kamu (benar benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan
mencintaimu dan mengampuni dosa dosamu. Allah Mahapengampun, Mahapenyayang. (Q.S Ali Imran 31).
Imam Ibnu Katsir mengatakan bahwa ayat ini sebagai pemutus
hukum bagi setiap orang yang mengaku cinta kepada Allah namun tidak mau
menempuh jalan Rasulullah Salallahu ‘alaihi Wasallam, maka orang tersebut dusta dalam
pengakuannya, sampai dia mengikuti syariat dan agama yang dibawa Rasulullah
Salallahu a’alaihi Wasallam dalam semua ucapan dan perbuatannya.
Rasulullah bersabda :“
Man ‘amila amalan laisa ‘alaihi amrunaa fahuwa raddun”. Barang siapa beramal yang tidak ada perintahnya dari kami
maka amalannya tertolak. (H.R Imam Muslim)
Andaikata seseorang melakukan suatu amalan yang tidak ada
petunjuknya atau tidak dicontohkan atau tidak dilakukan oleh Rasulullah, lalu
cara beramal siapa yang dia ikuti dan dia kerjakan. Lalu kepada siapa pula dia
akan meminta ganjaran kebaikan atas amal ibadahnya itu.Jadi janganlah seorang
hamba melakukan suatu ibadah melainkan dengan apa yang telah disyari’atkan Allah melalui Rasul-Nya.
Ketahuilah bahwa orang orang yang menyelisihi Rasulullah
dalam beribadah, bukan saja tertolak amalnya, tapi Allah memberi peringatan kepadanya. Allah berfirman
: “Fal yahdzaril ladzina
yukhaalifuuna ‘an amrihii an tushiibahum fitnatun au yushiibahum ‘adzabun
aliim” Maka hendaklah orang orang yang menyelisihi perintah Rasul-Nya takut
akan mendapat cobaan atau ditimpa adzab yang pedih. (Q.S an Nuur 63)
Ketiga : Utamakan amalan wajib dan beri perhatian sangat khusus
padanya.
Allah berfirman dalam sebuah hadits qudsi : “Tidaklah seorang
hamba mendekatkan diri kepadaKu dengan sesuatu yang paling Aku
cintai daripada kewajiban yang Aku bebankan kepadanya. Dan senantiasa (terus menerus, istiqamah) hambaKu
mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan amalan sunnah hingga Aku mencintainya”
(H.R Imam Bukhari).
Abu Bakar ash Shiddiq pernah berwasiat kepada Umar bin
Khaththab : Sesungguhnya Allah tidak akan menerima ibadah sunnah kecuali
apabila amalan wajib telah ditunaikan.
Syakhul Islam Ibnu Taimiyah berkata : Oleh karena itu wajib
bertaqarrub kepada Allah dengan amalan amalan yang fardhu sebelum menjalankan amalan yang sunnah.
Mendekatkan diri kepada Allah dengan amalan amalan yang sunnah terhitung
sebagai ibadah jika amalan yang fardhu sudah dikerjakan. (Majmu’ al Fatawa).
Keempat : Beramal secara terus menerus.
Allah Ta’ala telah memerintahkan agar kita beramal terus
menerus sampai datang kematian. Allah berfirman : “Wa’bud rabbaka hattaa
ya’tiyakal yaqiin” Dan sembahlah Rabbmu sampai yakin (ajal) datang
kepadamu. (Q.S al Hijr 99).
Sayikh as Sa’di berkata : Al yaqin yaitu sampai ajal tiba.
Maksudnya, kontinyulah engkau (Muhammad) untuk mendekatkan diri kepada Allah
dengan segala macam ibadah disetiap waktu. Maka beliau mentaati perintah
Rabb-nya dan senantiasa membiasakan
beribadah sampai datang al yaqin (ajal) dari Rabbnya. (Kitab Tafsir
Karimur Rahman)
Sungguh amalan yang sedikit tapi kontinyu, terus menerus
dilakukan lebih utama daripada amalan yang banyak tapi terputus putus.
Diantaranya contohnya adalah bahwa ada seseorang yang pada bulan Ramadhan
sangat bersemangat membaca bahkan
mengkhatamkan al Qur an satu kali atau dua kali bahkan lebih. Lalu setelah Ramadhan tidak lagi membiasakan
diri membaca al Qur an. Mungkin menunggu
Ramadhan yang berikutnya.
Dari Aisyah Radiallahu anha, bahwa Rasulullah bersabda :
“Ahabbu a’mali ilallahi adwaamuhaa wa inqalla” Amalan yang paling dicintai
Allah adalah yang kontinyu (terus menerus) dikerjakan walaupun sedikit. (H.R
Imam Bukhari dan Imam Muslim).
Semoga Allah memberi kekuatan kepada kita untuk selalu
meningkatkan nilai ibadah kita kepada-Nya.
Wallahu a’lam. (183)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar