BERHENTILAH SEJENAK UNTUK BERTAFAKUR
|
Oleh : Azwir B. Chaniago
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“ (Orang yang berakal adalah) orang-orang yang mengingat Allah
sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka bertafakur, memikirkan tentang penciptaan langit
dan bumi (seraya berkata): "Ya Rabb kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini
dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka. “(Q.S
Ali Imran 191)
Muqaddimah.
Tafakur secara bahasa berarti berarti berfikir, memikirkan
atau merenungkan. Hakikat dari tafakur adalah seperti yang diungkapkan orang
orang bijak : Berhentilah barang sejenak, bertafakurlah, berfikirlah,
merenunglah, lalu berjalanlah kembali. Jadi dalam hidup ini bukan tafakur
atau merenung terus tapi berjalanlah, bergeraklah dan melangkahlah mencari
karunia Allah.
Amat disayangkan, disebabkan perlombaan dalam berbagai bidang
kehidupan yang serba modern dan serba cepat, adu cepat bahkan rebutan dalam
urusan dunia maka kebanyakan manusia hampir tidak punya waktu sedikitpun untuk
bertafakur. Sungguh Allah telah mengingatkan kita untuk senantiasa bertafakur
dalam berbagai keadaaan, baik ketika berdiri, duduk ataupun berbaring. Disebutkan
bertafakur dalam setiap keadaan karena keadaan atau posisi manusia memang hanya
pada tiga keadaan. Kalau tidak berdiri, duduk. Kalau tidak duduk berbaring.
Tidak ada posisi keempat. Allah juga mengingatkan bahwa bertafakur, memikirkan
ciptaan ciptaan Allah sebagai salah satu
tanda orang yang berakal.
Imam Hasan al Bashri berkata : “Tafakur atau renungan adalah
ibarat cermin yang menampakkan kepadamu kebaikan kebaikanmu dan keburukan
keburukanmu.” Memang setiap saat kita
bercermin untuk melihat kebaikan dan kekurangan diri kita secara fisik. Tapi
Imam Hasan al Bashri telah memberikan nasehat agar senantiasa bertafakur yaitu
antara lain untuk bercermin melihat
perbuatan perbuatan baik dan juga
perbuatan perbuatan buruk yang telah kita
lakukan.
Tafakur dalam hal apa saja.
Sungguh sangatlah banyak hal yang seharusnya kita bertafakur
atau merenung atasnya. Diantaranya adalah :
Pertama : Tafakur terhadap tanda tanda kebesaran Allah Ta’ala.
Allah berfirman : “Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi dan
silir bergantinya malam dan siang terdapat tanda tanda bagi orang orang yang
berakal (Q.S Ali Imran 190). Sungguh penciptaan langit dan bumi
beserta segala isinya ini haruslah menjadi renungan bagi kita. Inilah yang
disebut ayat ayat kauniyah yang seharusnya menjadi pelajaran. Semuanya kalau kita renungkan
dengan sungguh sungguh pastilah akan menambah rasa takut dan ketundukkan kita
kepada kekuasaan dan kebesaran Allah Ta’ala.
Kedua : Tafakur terhadap keajaiban alam dan diri kita.
Sungguh alam semesta ini bahkan pada diri kita terdapat
keajaiban yang sangatlah banyak. Semuanya adalah memberikan pelajaran kepada
kita tentang Maha Perkasanya Allah. Kita disuruh untuk memperhatikan dan
merenungkannya. Allah berfirman :
“Dan di bumi itu terdapat tanda tanda (kekuasaan Allah) bagi orang orang yang
yakin. Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan ? (Q.S
adz Dzaariat 20-21).
Ketiga : Tafakur terhadap nikmat Allah yang tidak putus putusnya.
Sangatlah banyak nikmat Allah bagi kita. Demikian banyaknya
sampai sampai ada diantara nikmat Allah yang tidak kita sadari tapi Allah
dengan kasih sayangnya memberikan kepada kita karena semuanya itu adalah
kebutuhan dan kebaikan bagi kita. Bahkan untuk menghitungnyapun kita tidak
mampu.
Allah berfirman : “Dan Dia telah memberikan kepadamu
(keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepada-Nya. Dan jika kamu
menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghitungnya. Esungguhnya manusia
itu sangat dzalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah) Q.S Ibrahim 34.
Keempat : Tafakur terhadap kekurangan kita dalam beribadah.
Kita sebagai hamba, diciptakan Allah adalah hanya untuk
beribadah dan mengabdi kepada-Nya. Prof DR. Hamka pernah
berkata : “Tidak ada kegunaan manusia diciptakan Allah selain untuk beribadah
kepada-Nya”
Jadi andaikata ada
diantara kita yang ditakdirkan Allah jadi penguasa, maka haruslah berkuasa
dalam rangka pengabdian kepada Allah, jika memiliki harta haruslah dalam rangka
pengabdian kepada Allah, punya jabatan, haruslah dalam rangka pengabdian kepada
Allah. Bahkan yang tidak berharta dan tidak punya kedudukan atau pangkat
apapun, haruslah menjaga diri agar tetap menjalani hidupnya secara keseluruhan
dalam rangka pengabdian kepada Allah.
Allah berfirman : “Dan Aku tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku (Q.S adz Dzaariat 56).
Mari kita renungkan pula bahwa seorang hamba yang
diperintahkan Allah untuk beribadah tentulah ingin
mempersembahkan yang terbaik dari ibadah ibadahnya kepada Allah. Insya
Allah, kita berusaha melakukan ibadah dengan baik.
Lalu ada yang bertanya
: Apakah yang dimaksud dengan ibadah yang baik itu. Qadhi bin Iyadh menjelaskan
tentang makna ibadah yang baik sebagaimana yang difirmankan Allah dalam surat
al Mulk ayat 2 : “(Allah) Yang menjadikan mati dan hidup,
supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya
dan Dia Mahaperkasa lagi Mahapengampun.
Ahsanu ‘amala (amal yang baik), dalam ayat ini, kata Qadhi
Iyadh bermakna : Ibadah yang dilakukan dengan ikhlas karena Allah
dan sesuai dengan yang diajarkan atau dicontohkan
oleh Rasulullah salallahu ‘alaihi wasallam.
Para ulama tidak
berbeda pendapat bahwa dua hal ini
adalah syarat diterimanya ibadah seorang hamba. Ini adalah bagian yang harus
menjadi renungan kita. Kita bertafakur, kita merenung apakah amal amal kita
yang kita lakukan betul betul telah ikhlas karena Allah dan sesuai dengan
tuntunan Rasulullah.
Sungguh apa yang kami uraikan
diatas hanyalah sebagian kecil dari penjelasan tentang tafakur. Semoga yang
sedikit ini akan memberi manfaat bagi kita semua.
Alahamdulillahi rabbil ‘alamiin.
Alahamdulillahi rabbil ‘alamiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar