DIRIMU PERBAIKI DULU SEBELUM YANG LAIN
Oleh :
Azwir B. Chaniago
Sangatlah banyak keluhan di zaman
ini tentang keadaan masyarakat yang semakin buruk. Ya memang demikianlah adanya.
Kesyirikan ada dimana mana bahkan diiklankan, perzinaan, korupsi, perampokan
dan pembunuhan. Lalu apa yang bisa dilakukan untuk memperbaikinya dan harus dimulai dari mana.
Kemudian kita saksikan pula
sebagian orang bersemangat untuk berusaha memperbaiki keadaan yang buruk ini
dengan berbagai cara. Tapi ketahuilah bahwa sebenarnya perbaikan harus dimulai
dari diri sendiri, kemudian keluarga paling dekat dan barulah yang lain, sesuai
kemampuan.
Pertama : Mulailah dari diri sendiri
Perbaikan haruslah dimulai dari diri sendiri sebelum yang
memperbaiki yang lainnya. Orang bijak berkata : Air yang kotor tidak bisa membersihkan
barang yang kotor. Orang yang tidak bisa berenang tidak bisa menyelamatkan
orang yang tenggelam.
Perhatikanlah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang
memberikan peringatan kepada orang yang menyuruh seseorang berbuat baik. ”Atakmurunan
naasa bil birri wa tansauna anfusakum wa antum tatluunal kitaab, afalaa
ta’qiluun” Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaikan sedang kamu
melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca al-Kitab, maka
tidakkah kamu berfikir (Q.S. al Baqarah 44).
Ayat ini secara tekstual ditujukan kepada Bani Israil,
namun yang dimaksud bukan untuk mereka semata, tetapi ditujukan secara umum
baik kepada mereka maupun selain mereka.
(Kitab Tafsir Ibnu Katsir).
Memulai perbaikan dari diri sendiri wajib untuk
diutamakan bahkan dalam berdoa pun kita diajarkan untuk diri sendiri dulu baru
mendoakan yang diluar diri kita.
Kedua : Keluarga paling
dekat
Setelah
seorang hamba bersungguh sungguh memperbaiki diri, maka selanjutnya dia
berkewajiban memperbaiki keluarganya
yang paling dekat. Yang dimaksud adalah
istri dan anak.
Allah
berfirman: Ya aiyuhalladziina aamanuu quu anfusakum wa ahliikum naaraa wa
quuduhan naasu wa hijaaratu, ’alaihaa malaaikatun ghilaazhun syidaadun laa
ya’shuunallaha maa amrahum wa yaf’aluuna maa yukmaruun” Wahai orang-orang yang beriman
peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah
manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar dan keras yang tidak
mendurhakai Allah terhadap apa yang di perintahkan-Nya kepada mereka dan selalu
mengerjakan apa yang di perintahkan”(QS. At Tahrim 6).
Imam
Ibnu Katsir, dalam kitab tafsirnya menukil perkataan Qathadah tentang
makna ayat ini, yaitu : Hendaklah engkau
menyuruh mereka berbuat taat kepada Allah dan mencegah mereka durhaka
kepada-Nya. Dan hendaklah engkau menjalankan perintah Allah kepada mereka dan
perintahkan mereka untuk menjalankannya. Jika engkau melihat mereka berbuat
maksiat kepada Allah, maka peringatkan dan cegah mereka.
Ada
pertanyaan mana yang lebih utama atau prioritas untuk diperbaiki apakah istri
dan kemudian baru anak. Dalam kondisi umum, bisa dilakukan sejalan namun
memperhatikan keterangan yang akan disebutkan di bawah ini, maka prioritas
utama untuk diperbaiki dan diajarkan kebaikan setelah diri sendiri,
adalah anak.
Dalam
kewajiban mendidik anak ada beberapa catatan yang kiranya bermanfaat, sebagai
berikut :
(1)
Anak harus diajar dan dididik terutama untuk takut dan taat kepada Allah. Ini adalah kewajiban orang tua. Istri,
sebenarnya dia sudah tahu yang baik, untuk taat kepada Allah karena seyogyanya
sudah diajarkan oleh orang tuanya sejak kecil sampai sebelum dia menikah. Suaminya berkewajiban mengingatkan, meskipun
dalam kondisi tertentu perlu diajarkan disamping diingatkan.
(2) Anak yang shaleh dan shalehah
adalah investasi yang sangat agung. Sebagaimana dijelaskan dalam suatu hadits
yang maknanya, bahwa doa anak yang shaleh akan terus mengalir kepada orang
tuanya, meskipun dia sudah meninggal dunia.
(3)
Dalam kisah Nabi Nuh disebutkan bahwa dia memanggil anaknya untuk kembali
kepadanya dan tidak mengikuti orang-orang kafir. Allah berfirman : ”Dan
berlayarlah bahtera itu untuk membawa mereka mengarungi gelombang laksana
gunung. Dan Nuh memanggil anaknya yang terpisah dari dia. Wahai anakku, naiklah
kekapal bersama kami dan janganlah kamu bersama orang-orang kafir” (QS.
Huud 42).
(4)
Nabi Ibrahim, berdoa untuk anak-anak keturunannya sebagaimana disebutkan dalam
firman Allah : ”Rabbij’alnii muqimash shalaati wa min dzurriyatii, rabbanaa
taqabbal du’aa’” Ya Rabbku,
jadikanlah aku dan anak cucuku orang yang tetap melaksanakan shalat, ya Rabbku
perkenankanlah doaku. (QS. Ibrahim 40).
(5)Rasulullah Salallahu ’alaihi wassalam, bersabda: ”Maa
min mauluudin illaa yuladu’alal fithrah, fa abawaahu yuhawwidaanihi wa
yunashshiranihi wa yumajjisaanih”. Setiap anak itu
dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orang tuanyalah yang membuatnya menjadi
seorang Yahudi, seorang Nasrani maupun seorang Majusi. (H.R Imam Bukhari dan Imam Muslim).
Dalam
hadits ini terdapat kewajiban yang besar bagi orang tua mendidik anak-anak agar
tidak terjerumus menjadi Yahudi, Nasrani, dan Majusi.
(6)
Imam Ibnul Qayyim berkata : Allah akan meminta terlebih dahulu pertanggung
jawaban kewajiban orang tua terhadap anaknya, sebelum pertanggung jawaban
kewajiban anak terhadap orang tuanya.
Jadi
perbaikan yang paling utama dan penting sekali dilakukan adalah dimulai dari
diri sendiri kemudian keluarga paling dekat yaitu istri dan anak. Dan jika ada
kemampuan bisa diteruskan kepada karib kerabat, tetangga dan masyarakat
umumnya.
Insya
Allah ada manfaatnya bagi kita semua. Wallahu A’lam. (1.181)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar