EMPAT SIKAP SETELAH IBADAH
Oleh : Azwir B. Chaniago
Muqaddimah.
Seorang muslim tidaklah
mencukupkan diri dengan mengatakan beriman saja tapi iman haruslah diisi dengan
amal shaleh. Tidaklah kebaikan di akhirat akan diperoleh dengan iman saja
tapi haruslah juga dengan amal shalih. Allah berfirman : Wa basysyiril
ladzi naamanu wa ‘amilush shalihati Dan berilah kabar gembira untuk orang orang beriman
dan beramal shalih (Q.S al Baqarah 25).
Jadi kabar gembira
(dengan surga) adalah untuk yang beriman dan beramal shalih. Amal shalih itu secara sederhana dapat
dijelaskan yaitu melakukan apa yang diperintahkan Allah dan menjauhi apa yang
dilarang-Nya.
Rasulullah bersabda : “Maa nahaitukum ‘anhu fajtanibuhu.
Wamaa amartukum bihi faktu minhu
mastata’tum”. Apa yang aku larang kalian maka jauhilah dan apa yang
aku suruh maka lakukanlah semampu kalian (H.R. Bukhari dan Muslim dari Abu
Hurairah).
Alhamdulillah sebagai orang yang
beriman, kita telah berusaha melakukan berbagai ibadah dan amal saleh
sebagaimana yang disyari’atkan sesuai kemampuan kita.
Menjaga dan memelihara amal shalih.
Ketahuilah bahwa amal shalih yang
telah kita lakukan haruslah dijaga dan dipelihara agar bermanfaat untuk akhirat
kita karena ini bekal kita pada saat kembali ke kampung akhirat. Sungguh yang akan ditimbang dan
dihisab nanti adalah amal shalih, tidak yang lain. Diantara cara menjaga amal shalih adalah dengan empat sikap
setelah selesai beribadah
atau setelah melakukan amal
kebaikan, yakni :
Pertama : Tetap
ikhlas
sampai kapanpun.
Para ulama sepakat bahwa syarat
diterimanya suatu ibadah pertama adalah ikhlas dan kedua adalah ittiba’ yaitu mengikuti cara yang diajarkan
Rasulullah.
Setelah selesai ibadah, para
ulama dan orang-orang saleh senantiasa menjaga keikhlasan terhadap ibadah yang
telah dilakukannya, karena mereka yakin betul bahwa keikhlasan harus terus
dijaga sampai kapanpun. Mereka berusaha untuk tidak menyebut-nyebut apalagi
membanggakan ibadah atau kebaikan yang telah dilakukan karena berpotensi akan menghapus pahalanya.
Sungguh tidaklah seseorang itu
ingin, jika sudah berpayah-payah melakukan suatu amal kebaikan lalu hilang
begitu saja karena tidak menjaga keikhlasan setelah melakukan amal tersebut.
Memang kadang – kadang ada diantara saudara kita yang pada saat akan
beramal sangat ikhlas, pada saat
melaksanakannya tetap menjaga keikhlasan tapi beberapa tahun setelah amal
kebaikan itu dilakukan timbul rasa riya dan ujub antara lain dengan menyebut dan sampai membanggakannya
dihadapan orang lain.
Kedua : Sikap harap dan cemas.
Para ulama terdahulu dan orang-orang
saleh, jika selesai beribadah, senantiasa merasa harap dan cemas. Harap
ibadahnya diterima dan cemas
dan khawatir kalau ditolak.
Ketahuilah, bahwa sungguh tidak
semua ibadah kita diterima Allah. Bukan Allah tidak suka menerima tetapi lebih kepada kesalahan dan kekurangan kita
dalam melakukan amal. Bisa jadi karena
keikhlasan kita tidak penuh atau ittiba’ kita yang dipertanyakan. Sikap harap
dan cemas ini akan menumbuhkan dorongan bagi setiap mukmin untuk terus menerus
berusaha memperbaiki amalnya sehingga menjadi amal yang bernilai disisi Allah.
Diantara dalil yang menjelaskan
bahwa tidak semua amal ibadah
diterima adalah :
Allah Ta’ala berfirman : “Walladzina yu’tuna maa ataw wa
qulubuhum wajilatun annahum ila rabbihim
raaji’uun. Dan mereka yang memberikan apa yang telah
mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya
mereka akan kembali kepada Rabb mereka. Q.S. Al Mu’minun 60.
Syaikh as Sa’di dalam kitab
Tafsirnya antara lain menjelaskan makna
“dengan hati yang takut” adalah mereka merasa takut saat amalan-amalannya
ditampilkan kepada Allah dan berdiri dihadapanNya, sekiranya amalan mereka
tidak bisa menyelamatkan mereka dari siksa Allah.
Rasulullah salallahi wasallam
selesai shalat subuh selalu berdzikir
antara lain dengan membaca doa :
“Allahumma inni as’aluka ‘ilman nafi’an wa rizqan thaiyiban
wa amalan mutaqabbalan”. Ya Allah aku
bermohon ilmu yang bermanfaat, rizki
yang baik dan amalan yang
diterima. (H.R. Imam Ahmad).
Rasulullah selalu berdoa antara lain meminta agar amalan diterima. Ini suatu indikasi bahwa ada kemungkinan amal seseorang ditolak.
Nabi Ibrahim alaihissalam,
setelah melakukan amal yang besar, yang diperintahkan Allah, yaitu meninggikan
fondasi bangunan Ka’bah atau ada yang
menyebut membangun Ka’bah bersama anaknya Ismail
alaihissalam beliau berdoa “Rabbana taqabbal minna innaka antas sami’ul ‘alim”. Ya Rabb kami terimaalah amal kami
sesungguhnya Engkau Mahamendengar
dan Mahamengetahui. Beliau berdoa seperti itu karena berharap
amalnya diterima dan khawatir kalau ditolak.
Ketiga :
Bersyukur kepada Allah.
Kita beribadah adalah atas
hidayah dan taufik dari Allah. Sungguh tidak ada suatu ibadah sekecil apapun
yang mampu kita lakukan tanpa hidayah
dan pertolongan Allah. Dan ganjaran
atas ibadah itupun diberikan
Allah buat kita. Ini adalah nikmat Allah yang harus kita syukuri.
Allah berfirman : “Wa
litukmilul ‘iddata wa litukabbirullaha
‘ala maa hadakum
wa la’allakum tasykurun. Hendaklah kamu mencukupkan
bilangan (puasamu) dan mengagungkan Allah atas petunjuk Nya
yang diberikan kepadamu agar kamu bersyukur (Q.S. Al Baqarah 185).
Syaikh as Sa’di dalam Kitab Tafsirnya antara
lain menjelaskan bahwa Allah memerintahkan untuk menyempurnakan bilangan
(ibadah) puasa. Kemudian bersyukur kepada Allah saat
telah sempurna segala bimbingan, kemudahan dan penjelasanNya
kepada hamba-hambaNya.
Keempat :
Memperbanyak istighfar.
Ada pertanyaan. Kenapa setelah
selesai beribadah kita masih harus
banyak beristighfar. Bukankah istighfar itu diperuntukkan bagi orang-orang
yang berbuat dosa. Ya komentar ini
shahih. Tapi begitulah ketajaman ulama kita dalam memberikan bimbingan. Sungguh
bagi seorang muslim istighfar tidak hanya berkaitan dengan dosa dan maksiat
tapi juga setelah beramal. Ini tentu bukan tanpa alasan. Kenapa, karena tidak
ada jaminan bahwa selama beribadah kita
tidak melakukan dosa.Tidak ada jaminan bahwa ibadah yang kita lakukan telah
sempurna. Mengakulah kepada Allah bahwa
ibadah kita banyak kekurangan maka
beristighfarlah. Mohon
ampunlah.
Diantara dalil untuk menyuruh
kita beristighfar setelah beribadah
adalah :
Allah berfirman :
“Syumma afiidhuu min haisyu afadhannasu wastaghfirullah. Innallaha ghafuurur
rahiim” Kemudian bertolaklah kamu dari tempat bertolaknya orang
banyak (Arafah) dan mohonlah ampun kepada Allah, sesungguhnya Allah
Mahapengampun lagi Mahapenyayang. (Q.S. Al Baqarah 199).
Syaikh as’Sa’di antara lain menjelaskan bahwa
demikianlah seharusnya yang dilakukan seorang hamba setiap ia selesai dari
suatu ibadah, sepatutnya ia beristighfar kepada
Allah dari kelalaiannya dan bersyukur atas taufikNya.
Rasulullah setelah selesai mengerjakan ibadah shalat, beliau selalu membaca istighfar tiga kali.
Padahal beliau baru saja selesai melakukan
suatu ibadah yang agung yaitu shalat. Ini termasuk pelajaran berharga
bagi kita bahwa seharusnya seorang hamba memohon ampun pada setiap selesai
ibadah.
Sungguh kita mengetahui pula bahwa majelis ilmu
adalah majelis yang sangat mulia, dan merupakan satu dari taman-taman surga.
Seseorang yang duduk dimajelis ilmu akan mendapatkan kebaikan yang banyak dan
ini merupakan ibadah.
Rasulullah mengajarkan bahwa jika
seseorang
duduk dalam suatu majelis maka sebelum dia bangkit dari majelis tersebut
hendaklah dia membaca doa : “Subhanaka allahumma wabihamdika, asyhadu alla
ilaha illa anta, astaghfiruka wa atuubu ilaik”. Mahasuci Engkau, ya Allah,
aku memujiMu. Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak dibadahi dengan
benar kecuali Engkau. Aku memohon ampun dan bertaubat kepada Engkau. (H.R. At
Tirmidzi dan al Hakim).
Wallahu a’lam. (055)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar