TAK BOLEH MENGGERUTU KETIKA DIDATANGI MUSIBAH
Disusun oleh : Azwir B. Chaniago
Ketahuilah bahwa musibah atau kesulitan yang mendatangi orang orang beriman adalah bagian dari ujian terhadap imannya. Allah Ta’ala berfirman :
أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ
وَلَقَدْ فَتَنَّا ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ ۖ فَلَيَعْلَمَنَّ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ صَدَقُوا۟ وَلَيَعْلَمَنَّ ٱلْكَٰذِبِينَ
Apakah manusia mengira mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan beriman, dan mereka tidak diuji ?. Dan sungguh, Kami telah menguji orang orang sebelum mereka maka Allah pasti mengetahui orang orang yang benar dan pasti mengetahui orang orang yang dusta. (Q.S al Ankabuut 2).
Syaikh as Sa’di dalam menafsirkan ayat ini, antara lain menjelaskan bahwa : Dia (Allah) akan menguji mereka dengan kesenangan dan kesengsaraan hidup, kesulitan dan kemudahan, hal hal yang membuat semangat dan yang membenci, kekayaan dan kefakiran, dengan penguasaan musuh musuh terhadap mereka pada saat tertentu serta berbagai cobaan lainnya.
Sesungguhnya, kata beliau, ujian dan cobaan bagi jiwa tak obahnya seperti alat tempa besi yang memisahkan karat dan besi. (Tafsir Taisir Karimir Rahman).
Oleh karena itu ketika didatangi ujian berupa musibah maka orang orang beriman harus menerima apa adanya. Sungguh musibah itu adalah sesuatu yang telah ditetapkan Allah Ta’ala sebagaimana firman-Nya :
قُلْ لَنْ يُصِيبَنَا إِلَّا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَنَا هُوَ مَوْلَانَا ۚ وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ
Katakanlah (Muhammad) : Tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah DITETAPKAN ALLAH bagi kami. Dialah pelindung kami, dan hanya kepada Allah bertawakallah orang orang yang beriman. (Q.S at Taubah 51).
Syaikh Utsaimin berkata : Kondisi manusia dalam menghadapi musibah ada empat tingkatan yakni :
Pertama : Menggerutu atau mendongkol terhadap apa yang dialaminya.
Dia menggerutu terhadap takdir yang dialaminya baik dengan hatinya, lisannya atau anggota badannya. Perbuatan ini (menggerutu, mendongkol) HARAM HUKUMNYA, bisa menyebabkan kekafiran. Dalam hal ini beliau menukil firman Allah Ta’ala :
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ عَلَىٰ حَرْفٍ ۖ فَإِنْ أَصَابَهُ خَيْرٌ اطْمَأَنَّ بِهِ ۖ وَإِنْ أَصَابَتْهُ فِتْنَةٌ انْقَلَبَ عَلَىٰ وَجْهِهِ خَسِرَ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةَ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِينُ
Dan diantara manusia ada yang menyembah Allah hanya ditepi maka jika dia memperoleh kebajikan dia merasa puas. Dan jika dia ditimpa suatu cobaan dia berbalik kebelakang. Dia rugi di dunia dan di akhirat. Itulah kerugian yang nyata. (Q.S al Hajj 11).
Kedua : Bersabar atas apa yang dialaminya.
Orang yang dalam kondisi ini (menerima dengan sabar) mereka beranggapan bahwa musibah tersebut SEBENARNYA BERAT BAGINYA. Akan tetapi dia kuat menanggungnya dia tidak suka hal itu terjadi. Akan tetapi IMAN YANG BERSEMAYAM DIHATINYA menjaganya dari mengerutu atau mendongkol.
Terjadi atau tidak terjadinya hal itu tidak sama baginya. Perbuatan seperti itu (yaitu bersabar) WAJIB HUKUMNYA karena Allah Ta’ala memerintahkan untuk bersabar sebagaimana firman-Nya :
وَاصْبِرُوا ۚ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
Dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang orang yang sabar. (Q.S al Anfal 46).
Ketiga : Ridha terhadap apa yang dialaminya.
Ridha terhadapnya seperti seseorang ridha terhadap musibah yang dialaminya dimana baginya SAMA SAJA ada atau tidaknya musibah tersebut. Adanya musibah tidak membuatnya sesak dan menanggungnya dengan perasaan yang berat. Sikap SEPERTI ITU DIANJURKAN tetapi bukan SUATU KEWAJIBAN menurut pendapat yang kuat.
Perbedaan antara tingkatan ini dan tingkatan sebelumnya (perbedaan antara sabar dan ridha, peny.) AMAT JELAS SEKALI. Dalam tingkatan ridha ada dan tidak adanya musibah sama saja bagi orang yang mengalaminya. Sementara pada tingkatan sabar, adanya musibah dirasakan sulit TETAPI DIA BISA BERSABAR ATASNYA.
Keempat : Bersyukur terhadap apa yang dialaminya.
Ini tingkatan paling tinggi. Hal ini direfleksikan oleh orang yang mengalaminya dengan BERSYUKUR KEPADA ALLAH ATAS MUSIBAH apa saja yang dialami. Dalam hal ini (karena) dia mengetahui bahwa musibah ini merupakan sebab atau jalan untuk menghapus keburukan keburukannya (dosa dosa kecilnya) dan barangkali bisa menambah kebaikannya. Rasulullah Salallahu ‘alaihi Wasallam bersabda :
مَا يُصِيبُ الْمُؤْمِنَ مِنْ وَصَبٍ ؛ وَلَا نَصَبٍ ؛ وَلَا هَمٍّ ؛ وَلَا حَزَنٍ ؛ وَلَا غَمٍّ ؛ وَلَا أَذًى – حَتَّى الشَّوْكَةُ يَشَاكُهَا – إلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ
Tidaklah menimpa seorang mukmin berupa rasa sakit, rasa letih, kekhawatiran (pada pikiran), sedih (karena sesuatu yang hilang), kesusahan hati atau sesuatu yang menyakiti sampai pun duri yang menusuknya melainkan akan dihapuskan dosa-dosanya. (H.R Imam Bukhari dan Imam Muslim).
Note : Tulisan ini banyak mengambil faedah dari Fatawa dan Risalah Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin.
Oleh karena itu hamba hamba Allah JANGANLAH PERNAH MENGGERUTU ketika didatangi ujian berupa musibah. Wajib untuk bersabar. Selanjutnya berusahalah agar bisa ridha dan bersyukur. Insya Allah ada manfaatnya bagi kita semua. Wallahu A’lam. (2.184).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar