MENGENDALIKAN PERASAAN MARAH
Oleh :
Azwir B. Chaniago
Dari Abu Hurairah : Anna rajulan
qaala lin nabiyi Salallahu ‘alaihi
Wasallam : “Au-shinii, Qaala : Laa taghdhab, faraddada
miraaran, Qaala : Laa taghdab. Bahwa seorang laki laki berkata kepada Nabi :
Berwasiatlah kepadaku. Beliau bersabda : Jangan
engkau marah !. Orang itu terus mengulangi (meminta nasehat berkali kali)
kepada beliau, lalu Nabi bersabda : Jangan
engkau marah. (H.R Imam Bukhari).
Demikianlah wasiat Nabi kepada laki
laki itu berulang ulang dengan jawaban yang sama. Ini menunjukkan bahwasanya
marah itu memang ada dalam diri manusia. Cuma saja diantara manusia ada yang
memiliki sifat marah yang besar tapi ada pula yang tidak terlalu cepat marah.
Tinggal menghitung stratanya.
Rasulullah memberikan pujian
terhadap seorang hamba yang bisa mengendalikan atau menahan marahnya. Beliau
bersabda : “Man kazhama ghaizhan wa huwa
yastathi’u an yunfidzahu, da’aahullahu yaumal qiyaamati ‘alaa ru-uusil
khalaa-iqi hatta yughaiyirahu fii ayyil huuri syaa-a”. Siapa yang menahan
amarah padahal dia mampu untuk melampiaskannya, Allah akan memanggilnya pada
hari Kiamat di hadapan semua makhluk, hingga memberikannya kesempatan untuk
memilih bidadari yang dia inginkan. (H.R Imam Ahmad, Abu Dawud, at Tirmidzi dan
Ibnu Majah).
Jadi sangatlah dianjurkan bagi
setiap hamba untuk berusaha mengendalikan marahnya. Rasulullah bersabda : “Laisasy syadiidu bish shura’ati, wa
innamaasy syadiidul ladzii yamliku nafsahu ‘indal ghadab”. Orang yang
perkasa itu bukan orang yang jago bergulat, akan tetapi orang yang perkasa itu
adalah yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah. (H.R Imam Ahmad).
Sungguh Rasulullah adalah uswah
hasanah bagi umatnya. Beliau memiliki
pribadi yang lembut dan tidaklah pernah beliau marah kecuali ada yang
melanggar hal hal yang dilarang Allah
Subhanahu wa Ta’ala.
Imam Ibnu Rajab al Hambali berkata
: Yang wajib atas seorang mukmin adalah agar marahnya dalam rangka menolak
gangguan dalam agama, baik untuknya maupun untuk orang lain dan membalas yang
bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya. Inilah sikap Rasulullah. Beliau tidak pernah membalas (marah) untuk
kepentingan diri beliau. Akan tetapi apabila hal hal yang Allah haramkan
dilanggar maka tidak ada sesuatu pun yang dapat mencegah marah beliau.
Marah memang terkadang diperlukan,
tapi haruslah pada saat yang tepat, dengan cara yang tepat serta marah untuk
keadaan yang tepat pula. Namun demikian menahan
atau mengendalikan marah tentu jauh lebih baik.
Diantara kisah tentang bagaimana
seorang ulama salaf yang tidak memperturutkan kemarahannya tapi beralih kepada
memaafkan demi mencari ridha Allah Ta’ala yaitu tentang Ja’far ash Shadiq
sebagaimana disebutkan dalam Kitab al Mustathraf al Absyihi.
Pada suatu saat ada seorang budak
yang hendak menuangkan air kepada Abu Ja’far ash Shadiq. Tetapi ternyata bejana
yang berisi air tersebut jatuh sehingga mengenai wajah Ja’far. Ja’far melihat
kepada budaknya dengan wajah marah.
Melihat wajah Ja’far yang sedang
marah, lalu si budak berkata dan
membacakan ayat kepada Ja’far. Ya Tuan, Allah berfirman : “Wal
kaazhimiinal ghaizh”. Dan orang yang menahan marahnya. (Q.S Ali Imran 134).
Lalu Ja’far berkata : Ya, aku tahan
marahku. Si budak berkata lagi, Allah berfirman selanjutnya : “Wal ‘aafiina ‘anin naas”. Dan suka
memaafkan manusia.
Kemudian Ja’far berkata : Ya, sudah
aku maafkan kesalahanmu. Si budak berkata lagi, Allah selanjutnya berfirman
juga : “Wallahu yuhibbul muhsiniin”. Dan
sesungguhnya Allah mencintai orang orang yang berbuat baik.
Ja’far berkata : Pergilah !.
Sekarang engkau aku merdekakan. Aku bebaskan engkau karena mengharapkan ridha
Allah Ta’ala.
Kisah ini menunjukkan keindahan
akhlak seorang ulama salaf. Dia memaafkan, tidak memperturutkan marahnya karena memahami makna dan
mengamalkan ayat al Qur-an yang
dibacakan kepadanya.
Sebagai penutup, inilah berita
gembira dari Rasulullah bagi orang orang
yang mampu menahan marahnya yaitu diriwayatkan dari Muadz bin Anas al Juhani,
beliau bersabda : “Man kazhama ghaizhan wa huwa yastathi’u an yunfidzahu,
da’aahullahu yaumal qiyaamati ‘alaa ru-uusil khalaa-iqi hatta yughaiyirahu fii
ayyil huuri syaa-a”. Siapa yang menahan amarah padahal dia mampu untuk
melampiaskannya, Allah akan memanggilnya pada hari Kiamat di hadapan semua
makhluk, hingga memberikannya kesempatan untuk memilih bidadari yang dia
inginkan. (H.R Imam Ahmad, Abu Dawud, at Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Insya Allah ada manfaatnya bagi
kita semua. Wallahu A’lam (701)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar