MENAHAN MARAH LEBIH UTAMA
Oleh : Azwir B. Chaniago
Sifat marah memang merupakan salah satu tabiat manusia. Cuma
ada yang bisa menahan atau mengendalikan ada pula yang tidak mampu atau sulit
mengendalikan diri ketika marah. Diantara pemicu seseorang marah adalah jika
pada satu waktu dia tidak mendapatkan apa yang diinginkan sementara itu dia
tidak mau bersabar dan memaafkan.
Sungguh Rasulullah telah berwasiat dalam sebuah hadits dari
Abu Hurairah bahwa ada seseorang datang menemui Rasulullah Salallahu ‘alahi
Wasallam seraya berkata : Wahai Rasulullah, berilah aku wasiat. Rasulullah
bersabda : “Laa taghdab”. Janganlah
kamu marah !. Beliau mengulanginya berkali kali dengan berkata : “Jangan kamu marah”. (H.R Imam al
Bukhari).
Syaikh Abdurrahman as Sa’di berkata : Jangan marah,
mengandung dua makna :
(1) Melatih diri untuk meredam emosi, berhias dengan akhlak
mulia, sabar menghadapi gangguan dan provokasi orang lain. Bukan (maknanya)
marah itu sendiri karena marah itu sulit untuk dihindarkan.
(2) Tidak melampiaskan konsekwensi marah seperti mencela,
bertengkar, merusak bahkan sampai mentalak istri. Namun (jika terpicu untuk
marah) dia bisa meredam dan mengendalikan marahnya agar tidak melampaui batas.
(Bahjah Qulubil Abrar).
Marah memang terkadang diperlukan, tapi haruslah pada saat
yang tepat, dengan cara yang tepat serta
marah untuk keadaan yang tepat dan proporsional. Namun demikian menahan atau mengendalikan marah serta memaafkan
tentu jauh lebih baik meskipun berat untuk dilakukan.
Imam Ibnu Rajab al Hambali berkata
: Yang wajib atas seorang mukmin adalah agar marahnya dalam rangka menolak
gangguan dalam agama, baik untuknya maupun untuk orang lain dan membalas yang
bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya. Inilah sikap Rasulullah. Beliau tidak pernah membalas untuk
kepentingan diri beliau. Akan tetapi apabila hal hal yang Allah haramkan
dilanggar maka tidak ada sesuatupun yang dapat mencegah marah beliau.
Ketika Ibnu Mas’ud mengabarkan
kepada beliau ucapan seseorang yang mengatakan : Ini adalah pembagian yang
tidak bertujuan mencari Wajah Allah (cara Rasulullah dalam membagi harta
ghanimah, pen.) hal itu membuat Rasulullah berat hati (karena dikatakan tidak
adil) hingga wajah beliau berubah dan marah. Tetapi beliau tidak lebih dari
sekedar bersabda : “Laqad uudziya muusa
bi aktsara min haadzaa fashabara” Nabi Musa pun pernah disakiti lebih besar
daripada ini, maka beliau bersabar. (H.R Imam Bukhari dan Imam Muslim).
Ketahuilah bahwa sungguh
sangatlah banyak keutamaan yang diperoleh seorang hamba yang terus berusaha
dan mampu menahan marah, diantaranya adalah :
Pertama : Mendapat kecintaan Allah dan
terhindar dari murka-Nya. Sungguh hakikat hidup yang selalu kita cari dan ingin kita dapatkan adalah mendapat kecintaan
Allah dan jauh dari murka-Nya. Diantara cara untuk mendapatkannya adalah dengan
menahan marah.
Allah berfirman : “Alladziina
yunfiquuna fis sarraa-i wadh dharraa-i wal kaazhimiinal ghaizha wal ‘afiina
‘aninnaasi, wallahu yuhibbul muhsiniin”. (Orang yang bertakwa yaitu) orang
yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang
lain. Dan Allah mencintai orang orang yang berbuat
kebaikan. (Q.S Ali Imran 134).
Dari Abdullah bin Amr : “Annahu
sa-ala rasuulullahi salallahu ‘alaihi wasallam, maa yubaa’iduunii min
ghadhabillahi ?. Qaala, laa taghdhab”. Bahwasanya
beliau bertanya kepada Rasulullah Salallahu ‘alaihi wasallam, amalan apa yang
dapat menjauhkan aku dari murka Allah ?.
Rasulullah menjawab : Jangan marah. (H.R Imam Ahmad, dihasankan oleh Syaikh al
Albani, lihat Shahih at Targhib).
Kedua : Allah Ta’ala memberikan pujian terhadap seorang hamba yang
bisa mengendalikan atau menahan marahnya. Rasulullah bersabda : “Man
kazhama ghaizhan wa huwa yastathi’u an yunfidzahu, da’aahullahu yaumal
qiyaamati ‘alaa ru-uusil khalaa-iqi hatta yughaiyirahu fii ayyil huuri syaa-a”.
Siapa yang menahan amarah padahal dia mampu untuk melampiaskannya, Allah
akan memanggilnya pada hari Kiamat di hadapan semua makhluk, hingga
memberikannya kesempatan untuk memilih bidadari yang dia inginkan. (H.R Imam
Ahmad, Abu Dawud, at Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Ketiga : Ukuran kuat atau lemahnya
seseorang bukan hanya dinilai dari segi fisik. Rasulullah telah mengabarkan
kepada kita bahwa orang yang mampu menahan marahnya adalah juga termasuk orang
yang kuat. Rasulullah bersabda : “Laisasy
syadiidu bish shura’ati, wa innamaasy syadiidul ladzii yamliku nafsahu ‘indal
ghadab”. Orang yang kuat itu bukanlah orang yang pandai bergulat, melainkan
yang mampu menahan jiwanya ketika marah.
(H.R Imam Bukhari dan Imam Muslim).
Imam an Nawawi berkata : Ini adalah keutamaan yang terpuji.
Sedikit sekali orang yang mampu berhias dengan akhlak yang terpuji ini. (Syarah
Shahih Muslim).
Keempat : Mendapatkan surga. Nikmat paling
besar dan sangat didambakan oleh seorang hamba adalah mendapatkan surga-Nya.
Diantaranya cara untuk mendapatnya adalah menahan marah yaitu sebagaimana sabda
Rasulullah Salallahu ‘alaihi Wasallam dari Abu Darda’ “Qaala
rajulun li rasulillahi salallahu ‘alaihi wasallam : Dullanii ‘ala ‘amalin
yudkhilunil jannah ?. Qaala : Laa taghdhab wa lakal jannah”. Seorang laki
laki datang menemui Rasulullah dan bertanya : Wahai Rasulullah, tunjukkanlah
kepadaku sebuah amalan yang dapat memasukkan aku kedalam surga. Rasulullah
menjawab : Jangan marah !. Dan surga bagimu. (H.R ath Thabrani, shahih
lighairihi, lihat Shahih at Targhib, Syaikh al Albani).
Kita bermohon kepada Allah Ta’ala agar diberi kemampuan untuk
selalu menahan marah agar kita memperoleh banyak keutamaan. Insya Allah ada
manfaatnya bagi kita semua. Wallahu A’lam. (690).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar