LARANGAN
KERAS BERDUSTA DENGAN HADITS PALSU
Oleh : Azwir B. Chaniago
Salah satu
dosa besar adalah perbuatan dusta. Kafaratnya adalah dengan bertaubat secara
sungguh sungguh atau dalam istilah syariat disebut taubat nashuha. Ketahuilah
bahwa jika berdusta atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
tentu lebih besar lagi dosanya, bahkan
bisa menjatuhkan seseorang kepada kekufuran.
Cuma sangatlah disayangkan bahwa saat ini di media sosial sering
ditemukan atau beredar hadits hadits palsu ataupun hadits yang tidak ada asal
usulnya. Tidaklah diragukan bahwa ini termasuk kepada perbuatan dusta atas nama
Rasulullah Salallahu ‘alahi Wasallam.
Salah
satu contoh dari ribuan hadits dha’if (lemah), dha’if jiddan (lemah sekali) dan
maudhu’ (palsu) adalah : “Uthlubul ‘ilma walau bishshiin” Tuntutlah ilmu
walaupun ke negeri Cina. Kalimat ini dikatakan sebagai hadits bahkan sangat
masyhur.
Ketahuilah bahwa dalam periwayatan
hadits ini ada perawi yang bernama Abu Atikah Tharif bin Sulaiman, yang oleh
para ahli hadits disepakati kelemahannya
bahkan sebagian ahli hadits mensifati perawi ini sebagai pemalsu hadits. Diantara ulama ahli
hadits yang menjelaskan kedudukan hadits ini adalah :
(1) Imam Bukhari dan Abu Hatim ar
Raazi mengatakan bahwa riwayatnya sangat lemah.(2) Imam Sulaimani mengatakan
bahwa perawi ini dikenal sebagai pemalsu hadits. (3) Ibnu Hibban berkata,
haditsnya sangat mungkar karena kelemahannya fatal. (4) Syaikh al Albani
mengatakan hadits ini palsu dan bathil.
Mungkin saja
seseorang yang menyebutkan sebuah hadits palsu di media sosial ataupun di media lainnya berkilah bahwa dia
tidak tahu bahwa itu adalah hadits palsu karena dia hanya mengutip atau
mengcopy saja dari tulisan orang lain. Sekiranya tidak tahu kedudukan suatu
hadits maka seseorang haruslah mencari tahu dulu sebelum menyampaikannya kepada
orang lain apalagi di media sosial yang jangkauannya sangat luas. Bahayanya bisa jadi kemana mana.
Seorang hamba
mestinya sangatlah takut untuk menyampaikan sesuatu yang dia sendiri tidak
mengetahui dengan jelas. Sungguh Allah
Ta’ala telah mengingatkan dalam firman-Nya
: “Wa laa taqfu maa laisa laka bihii
‘ilmun, innas sam’a wal bashara wal fu-aada kullu ulaa-ika kaanaa ‘anhu
mas-uulaa”. Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui.
Karena pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta
pertanggung jawabannya. (Q.S al Isra’ 36).
Tentang ayat
ini Syaikh as Sa’di berkata : Maksudnya, janganlah kamu mengikuti apa yang
tidak kamu ketahui. Telitilah setiap apa yang hendak kamu katakan dan kerjakan.
Janganlah pernah sekali kali menyangka bahwa semua akan pergi tanpa memberi manfaat
bagimu dan (bahkan) mencelakakanmu. Sudah sepantasnya seorang hamba mengetahui bahwa dia akan diminta pertanggung
jawab tentang segala yang telah dia katakan dan dia perbuat serta (cara)
pemanfaatan anggota badan yang telah Allah ciptakan untuk beribadah kepada-Nya.
(Kitab Tafsir Taisir Karimir Rahman).
Imam Adz
Dzahabi dalam kitab beliau al Kabair
(Kitab mengenai dosa-dosa besar) berkata : Berdusta atas nama Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam adalah suatu bentuk kekufuran yang dapat mengeluarkan seseorang
dari Islam. Tidak ragu lagi bahwa siapa saja yang sengaja berdusta atas
nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menghalalkan yang haram dan
mengharamkan yang halal berarti ia melakukan kekufuran.
Diantara
dalil yang dibawakan oleh Imam Adz Dzahabi tentang larangan dan ancaman
berdusta atas nama Nabi adalah :
Pertama : Dari al Mughirah, ia mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Inna kadziban ‘alaiya laisa ka-kadzibin ‘ala ahadin, man kadzaba
‘alaiya muta’midan fal yatabauwa maq’adahu minan naar”Sesungguhnya berdusta atas namaku tidaklah
sama dengan berdusta pada selainku. Barangsiapa yang berdusta atas namaku
secara sengaja, maka hendaklah dia menempati tempat duduknya di neraka.
(H.R. Imam Bukhari dan Imam Muslim).
Kedua : Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Barangsiapa
berdusta atas namaku, maka akan dibangunkan baginya rumah di (neraka) Jahannam.”
(H.R at Thabrani dalam Mu’jam al Kabir)
Ketiga : Dari ‘Ali bin Abi Thalib, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda : “Siapa yang meriwayatkan dariku suatu hadits yang ia menduga
bahwa itu dusta, maka dia adalah salah seorang dari dua pendusta (karena
meriwayatkannya).” (H.R. Muslim dalam muqaddimah kitab shahihnya pada
Bab : Wajibnya meriwayatkan dari orang
yang tsiqah yaitu terpercaya. Hadits ini
juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah).
Setelah
membawakan hadits-hadits di atas, Imam Adz Dzahabi berkata : Dengan ini menjadi
jelas dan teranglah bahwa meriwayatkan hadits maudhu’ yakni dari perawi
pendusta, tidaklah dibolehkan.” (Lihat Kitab al Kabair, dengan diringkas).
Kita memohon
kepada Allah Ta’ala agar diberi petunjuk untuk tidak menyampaikan hadits hadits
maudhu’ sehingga terancam dengan predikat berdusta atas nama Rasulullah
Salallahu ‘alaihi Wasallam.
Insya Allah
ada manfaatnya untuk kita semua. Wallahu A’lam. (703)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar