Rabu, 29 Juni 2016

BERTAUBAT HARUS TERUS MENERUS



BERTAUBAT HARUS TERUS MENERUS

Oleh : Azwir B. Chaniago

Muqaddimah.
Tidak ada manusia yang terbebas dari dosa dan kesalahan.  Dalam sebuah hadits qudsi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim disebutkan bahwa Allah berfirman : “Ya ‘ibaadi, innakum tukhti-una bil laili wan nahar”. Wahai hamba hamba-Ku, sesungguhnya kalian berbuat dosa (kesalahan)  malam dan siang.

Rasulullah menjelaskan pula dalam  sabda beliau  : “Kullubni aadam  khaththa’un, wa khairul khaththainat tauwabun” Setiap Bani Adam banyak berbuat salah dan sebaik baik orang yang berbuat salah adalah yang bertaubat. (H.R at Tirmidzi).

Makna dan hakikat taubat.
Prof. DR Shalih Ghanim as Sadlan menjelaskan : Secara syar’i  taubat adalah meninggalkan dosa karena takut kepada Allah, menganggapnya buruk, menyesali perbuatan maksiatnya, bertekad kuat untuk tidak mengulanginya dan terus memperbaiki apa yang bisa diperbaiki dari amalnya.

DR Shalih menjelaskan lebih lanjut bahwa hakikat taubat adalah perasaan hati yang menyesali perbuatan maksiat yang sudah terjadi. Lalu mengarahkan hati kepada Allah Ta’ala pada sisa usianya serta (selanjutnya) menahan diri dari dosa. Berbuat dosa. Melakukan amal shalih dan meninggalkan larangan adalah wujud nyata dari taubat. 

Taubat mencakup penyerahan diri seorang hamba kepada Rabb-nya, inabah yaitu kembali kepada Allah Ta’ala dan konsisten menjalankan ketaatan. Jadi, sekedar meninggalkan perbuatan dosa namun tidak melaksanakan amalan yang dicintai Allah Ta’ala maka itu belum dianggap bertaubat. (Kitab At Taubatu Ilallah)

Tidak bertaubat adalah zhalim.
Allah Ta’ala berfirman : “Wa man lam yatub fa ulaa-ika humuzh zhaalimuun”.  Dan barangsiapa yang tidak bertaubat maka mereka itulah orang orang yang zhalim. (Q.S al Hujuraat 11).

Imam Ibnul Qayyim berkata : Dalam ayat ini Allah Ta’ala membagi para hamba-Nya menjadi dua yaitu : (1) Golongan  orang yang bertaubat dan (2) Golongan  orang yang zhalim. Tidak ada golongan yang ketiga sama sekali. 

Allah Ta’ala menyematkan sebutan zhalim pada diri orang yang tidak (mau) bertaubat. Dan tidak ada orang yang lebih zhalim daripada orang yang tidak bertaubat. Hal itu lantaran kebodohan atau ketidaktahuannya terhadap Allah dan hak Allah. Juga lantaran kebodohannya terhadap aib dirinya dan terhadap cacat amal perbuatannya. (Madaarijus Saalikin).

Tidak boleh berhenti bertaubat selagi masih hidup.
Imam Ibnul Qayyim mengatakan bahwa :  Posisi taubat (bagi kehidupan manusia)  merupakan : (1) Permulaan langkah. (2) Tengah tengahnya dan (3) Akhir atau penutupnya. Seorang manusia tidak boleh berpisah dengan taubat. Ia harus senantiasa dalam keadaan beratubat sampai kematiannya. 

Kalau ia berpindah dari suatu keadaan ia harus berpindah dengan membawa taubat. Taubat harus selalu menemaninya. Maka taubat haruslah menjadi permulaan kehidupan manusia dan harus menjadi penutup bagi akhir kehidupannya. Kebutuhan seseorang terhadap taubat dipenghujung hidupnya amat sangat darurat, tetapi kebutuhannya terhadap taubat pada awal kehidupannya juga amat sangat darurat pula. 
  
Allah Ta’ala berfirman :  “Wa tuubuu ilallahi jamiian aiyuhal mu’minuuna, la’allakum tuflihuun”. Dan bertaubatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang orang yang beriman, agar kamu beruntung.  (Q.S an Nuur 31).

Ayat ini termasuk surat Madaniyah, yaitu turun setelah Rasulullah berhijrah ke Madinah. Allah berbicara kepada kelompok orang orang beriman yang paling pilihan yaitu para sahabat Nabi. Allah Ta’ala memerintahkan mereka supaya bertaubat kepada-Nya sesudah mereka beriman, bersabar, berhijrah dan berjihad. 

Kemudian Allah Ta’ala mengaitkan antara taubat dan hasilnya sebagaimana kaitan antara sebab dan akibatnya. Dalam menghubungkan antara taubat dan hasilnya itu Allah menggunakan kata la’alla yang bermakna harapan, sebagai bentuk pemberitahuan dari Allah bahwa : Apabila anda bertaubat berarti anda mengharapkan keberuntungan. Tidak ada yang bisa mengharapkan keberuntungan kecuali orang orang yang bertaubat.   
    
Syarat bertaubat yang sebenar benarnya.
Lalu bagaimana cara bertaubat yang sebenar benarnya atau dalam syariat disebut taubat nashuha. Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin memberikan penjelasan  tentang syarat bertaubat  yang sebenar benarnya  yaitu sebagaimana yang ditulis pada Kitab beliau, Tafsir Juz ‘Amma pada Tafsir surat al Buruj, sebagai berikut : 

Pertama : Ikhlas karena Allah semata.
Yaitu yang mendorong seseorang untuk bertaubat adalah rasa takutnya kepada Allah dan mengharap pahala dari-Nya. Terkadang ada orang yang bertaubat karena ingin dipuji manusia atau menghindari celaan manusia terhadapnya. Atau untuk mencapai kedudukan tertentu atau karena ingin mendapatkan harta dengan taubatnya.
Orang yang bertaubat dengan motivasi seperti itu tidak diterima taubatnya, karena syarat taubat harus ikhlas.

Kedua : Menyesali kesalahan yang telah dilakukan.
 Janganlah ia merasa seolah olah tidak bersalah, tidak menyesal, tidak bersedih dengan kesalahan dan dosanya. Jika disebutkan keagungan Allah tumbuhlah rasa penyesalam dalam dirinya. Dia akan berkata : Mengapa aku (selama ini) mendurhakai Rabb-ku, padahal Dia-lah yang menciptakan aku, memberi rizki dan hidayah kepadaku. 

Ketiga : Berhenti atau tidak meneruskan kesalahan tersebut.
Tidak sah taubat bila ia masih terus melakukan kesalahan yang sama karena orang yang bertaubat adalah orang yang kembali. Syaikh Utsaimin memberi contoh dalam hal ini diantaranya adalah, jika seseorang berucap : Astaghfirullaha wa atuubu ilaihi. Aku mohon ampun dan bertaubat kepada-Nya dari memakan riba. Namun dia masih terus memakan riba, tentu taubatnya tidak sah. Seandainya seseorang berkata : Astaghfirullah, aku tidak akan berkata ghibah yaitu menyebut seseorang tentang sesuatu yang dia tidak suka. 

Namun dalam setiap majlis ia terus menggunjing orang lain, tentu taubatnya tidak sah. Bagaimana dikatakan sah sementara ia terus melakukan kesalahan yang sama. Jika seseorang bertaubat dari memakan harta orang lain, namun ia tetap mengambil harta si Fulan dengan cara menipu atau berbohong maka tidak sah taubatnya hingga ia mengembalikan harta tersebut kepada pemiliknya.

Keempat : Berazam atau bertekad bulat untuk tidak mengulangi lagi.
 Jika seseorang bertaubat sedangkan  dalam hatinya mengatakan kalau ada kesempatan niscaya dia akan mengulangi kesalahan tersebut, ini berarti taubatnya tidak diterima. Ia harus sungguh sungguh berazam dengan tekad yang kuat untuk tidak mengulanginya lagi.

Kelima :  Harus dilakukan pada saat pintu taubat masih terbuka. 
Ketahuilah bahwa ada saatnya dimana pintu taubat sudah tertutup dan taubat saat itu tidak diterima lagi. Yaitu ada pada dua waktu berikut :

 (1) Jika ajal sudah datang. Pada saat itu taubat tidak diterima. Allah berfirman : “Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang dari mereka, (barulah) ia mengatakan, sesungguhnya aku bertaubat sekarang. (Q.S an Nisaa’ 18).

Setelah menyaksikan kematian dan adzab, barulah ia berkata : Aku taubat. Taubat pada saat itu tidak lagi berguna. Jadi jika maut telah datang, taubat tidak diterima lagi. Oleh sebab itu segeralah bertaubat karena kita tidak tahu kapan kematian menjemput.

 (2) Jika matahari telah terbit dari sebelah barat. Pada saat itu taubat tidak lagi diterima. Sebab jika melihat matahari sudah terbit dari barat maka semua manusia akan beriman.

Jadi merupakan  kewajiban bagi setiap hamba untuk terus menerus memohon ampun dan bertaubat dan kita sangat berharap kiranya Allah Ta’ala mengampuni dosa dosa kita. 

Sebagai penutup tulisan ini dinukilkan satu doa yang diajarkan Rasulullah. Yaitu : “Allahummaghfirlii, watub ‘alaiyaa, innaka antal tawwabur rahiim”. Ya Allah, ampunilah dosaku dan terimalah taubatku, sesungguhnya Engkau Maha Menerima Taubat dan Maha Kasih Sayang. (H.R Imam Bukhari dalam Adabul Mufrad, dishahihkan oleh Syaikh al Albani). 

Insya Allah ada manfaatnya bagi kita semua. Wallahu A’lam. (706)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar