MUBAHALAH DIBOLEHKAN DALAM SYARIAT ISLAM
Oleh : Azwir B. Chaniago
Mubahalah (malediction, imprecation) bermakna melaknat atau mengutuk. Mubahalah menurut
istilah adalah dua pihak yang saling memohon dan berdoa kepada Allah supaya
Allah melaknat dan membinasakan pihak yang bathil atau pihak menyalahi kebenaran.
Mubahalah
adalah salah satu cara syar’i yang digunakan untuk menghadapi lawan yang batil
dan menentang kebenaran setelah segala daya dan upaya mengalami jalan buntu
untuk menasihatinya, mendebatnya, serta berdialog dengannya.
Sama saja
apakah ini dilakukan dengan orang kafir atau pun sesama muslim yang tak mau
menerima kebenaran. Ini adalah satu cara untuk menunjukkan kebatilan apa yang
diyakini oleh lawan. Harus dilakukan dengan bersungguh-sungguh dalam berdoa kepada Allah Ta’ala dan
agar Allah Ta’ala
menampakkan mana di antara keduanya yang berada di atas kebatilan
dan semoga Allah Ta’ala
menyegerakan hukuman-Nya kepada pihak yang tidak benar.
Diantara dalil yang membolehkan mubahalah
adalah kisah mubahalah pernah dilakukan
oleh Rasulullah Salallahu ‘alaihi wsallam terhadap pendeta Kristen dari Najran
pada tahun ke-9 Hijriah, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah :
فَمَنْ حَاجَّكَ فِيهِ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَكَ مِنَ
الْعِلْمِ فَقُلْ تَعَالَوْا نَدْعُ أَبْنَاءَنَا وَأَبْنَاءَكُمْ وَنِسَاءَنَا
وَنِسَاءَكُمْ وَأَنْفُسَنَا وَأَنْفُسَكُمْ ثُمَّ نَبْتَهِلْ فَنَجْعَلْ لَعْنَتَ
اللَّهِ عَلَى الْكَاذِبِينَ
Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak
kamu, isteri-isteri kami dan isteri-isteri kamu, diri kami dan diri kamu;
kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat
Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta. (Q.S Ali Imran 61)
Ayat ini
berhubungan dengan perdebatan antara orang-orang Nasrani dengan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam tentang Nabi Isa ‘alaihissalam. Mereka mengatakan
bahwa Isa ‘alaihis
salam adalah Tuhan atau anak Allah Ta’ala. Dan Rasulullah
Shallallahu
‘alaihi wa sallam menjelaskan kepada mereka aqidah yang benar,
namun mereka tidak mau tunduk kepada kebenaran. Maka Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam mengajak mereka mubahalah.
Imam Ibnu
Katsir rahimahullah
berkata: Di sini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajak utusan
orang-orang Nasrani dari Najran setelah tegak hujjah atas mereka dalam
perdebatan dan mereka tetap bersikeras (pada kebatilannva), maka Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam mengajak mereka untuk mubahalah. Allah Ta’ala
berfirman dalam surat Ali Imran ayat 61.
Saat mereka
mengetahui hal tersebut, maka sebagian di antara mereka berbicara pada
sebagian lainnya : Demi Allah, seandainya kalian bermubahalah dengan nabi ini
tidak akan ada satu pun di antara kalian yang hidup. Maka saat itulah mereka
akhirnya mau menyerah dengan cara membayar jizyah (semacam upeti) dalam
keadaan hina. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus kepada mereka
seorang yang terpercava yaitu Abu Ubaidah bin al-Jarrah radhiyallahu
‘anhu untuk mengurusi hal tersebut.
Tentang ayat
dalam surat Ali Imran 61 ini, Syaikh as Sa’di berkata : Datang kepada Nabi
delegasi Nasrani daerah Najran. Mereka bersikeras dalam kebathilan mereka
setelah Nabi menegakkan atas hujjah hujjah dan keterangan yang jelas bahwasanya
Isa alaihi salam itu adalah hamba Allah dan Rasul-Nya dimana mereka meyakini
ketuhanan Nabi Isa.
Sikap keras
kepala mereka telah sampai pada titik di mana Allah Ta’ala memerintahkan kepada
Rasulullah agar menantang mereka untuk ber-MUBAHALAH karena sesungguhnya
kebenaran itu telah jelas bagi mereka. Akan tetapi kedurhakaan dan fanaisme
telah menghalangi mereka menerima kebenaran. Maka Rasulullah menantang mereka untuk
bermubahalah dimana mereka menghadirkan keluarga dan anak anak mereka.
Rasulullah pun menghadirkan keluarga dan anak anaknya. Kemudia mereka semua
berdoa kepada Allah Ta’ala agar menurunkan siksa dan laknat-Nya atas orang
orang yang berdusta.
Kemudian
mereka mengadakan musyawarah lebih dahulu apakah mereka menerima tantangan itu.
Akhirnya keputusan mereka. Akhirnya didapat keputusan bahwa mereka sepakat
untuk tidak menerima tantangan tersebut karena (sebenarnya) mereka yakin bahwa
beliau adalah benar benar Nabi Allah dan sekiranya mereka menerima tantangan
itu pastilah mereka berserta keluarga dan anak anak mereka akan celaka.
Selanjutnya mereka meminta perjanjian damai dengan memberikan jizyah. Lalu
Rasulullah menerima kesepakatan mereka tersebut dan tidak mengusir mereka
karena maksud yang diinginkan telah terpenuhi yaitu jelasnya kebenaran. (Tafsir
Taisir Karimir Rahman).
Kisah mubahalah Nabi dengan orang orang
Nasrani ini dijelaskan pula dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari.
حَدَّثَنِي عَبَّاسُ بْنُ الْحُسَيْنِ ،
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ آدَمَ عَنْ إِسْرَائِيلَ ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ عَنْ
صِلَةَ بْنِ زُفَرَ عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ جَاءَ الْعَاقِبُ وَالسَّيِّدُ صَاحِبَا
نَجْرَانَ إِلَى رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم يُرِيدَانِ أَنْ يُلاَعِنَاهُ
قَالَ فَقَالَ أَحَدُهُمَا لِصَاحِبِهِ لاَ تَفْعَلْ فَوَاللَّهِ لَئِنْ كَانَ
نَبِيًّا فَلاَعَنَّا لاَ نُفْلِحُ نَحْنُ ، وَلاَ عَقِبُنَا مِنْ بَعْدِنَا
قَالاَ إِنَّا نُعْطِيكَ مَا سَأَلْتَنَا وَابْعَثْ مَعَنَا رَجُلاً أَمِينًا ،
وَلاَ تَبْعَثْ مَعَنَا إِلاَّ أَمِينًا فَقَالَ لأَبْعَثَنَّ مَعَكُمْ رَجُلاً
أَمِينًا حَقَّ أَمِينٍ فَاسْتَشْرَفَ لَهُ أَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه
وسلم فَقَالَ قُمْ يَا أَبَا عُبَيْدَةَ بْنَ الْجَرَّاحِ فَلَمَّا قَامَ قَالَ
رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : هَذَا أَمِينُ هَذِهِ الأُمَّة
Dari Ishaq dari Shilah bin Shaqar dari Hudzaifah
berkata, datang dua orang kepada dari Najran kepada Rasulullah shallahu ‘alahi
wasallam, mereka berdua mengingingkan mubahalah dengan Nabi shallahu ‘alahi
wasallam. Berkata di antara mereka jangan kamu lakukan demi Allah, jika dia
benar seorang nabi, maka mubahalah kita tidak akan berhasil dan tidak ada
setelah kita, mereka berdua berkata sesungguhnya kita akan memberikanmu apa
yang kamu minta, utuslah bersama bersama kami seorang yang dapat dipercaya, dan
jangan engkau mengutus orang yang tidak dapat dipercaya (tidak amanat), maka
Rasulullah bersabda : Sungguh aku akan mengutus seorang yang dapat dipercaya,
maka sahabat nabi menginginkan dirinya siapa yang di maksud oleh beliau,
Rasulullah bersabda berdirilah wahai Ubaidah bin Jarrah dan ketika Abu Ubaidah
berdiri beliau bersabda : “Ini orang paling dipercaya dalam umat ini”
Lalu kapan
mubahalah bisa dilakukan. Mubahalah
tidaklah dilakukan pada setiap saat dan waktu yang mendadak. Mubahalah
dilakukan (1) Apabila tidak lagi
terdapat titik temu antara pihak kebenaran dengan pihak yang batil sementara
pihak yang batil ini masih bersikeras menyebarkan pemahamannya yang batil itu
ditengah umat Islam yang haq. (2) Dilakukan tidak dengan serta merta atau seketika, tetapi ada waktu untuk saling berfikir sebelum
pelaksanaan mubahalah. (3) Tidak dilakukan sembunyi sembunyi tetapi harus ada
yang menyaksikan.
Diantara
mubahalah yang pernah dilakukan oleh ulama Islam, melawan orang orang yang
menyimpang dari kebenaran al Qur an dan as Sunnah adalah :
Pertama : Imam Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah dengan salah seorang pengikut Ibnu Arobi yaitu pelopor keyakinan wihdatul wujud (bersatunya makhluk dengan
Tuhan pada sebagian makhluk dalam Bahasa jawa disebut manunggaling kawula lan
gusti, pen.) Muaranya adalah segala yang ada merupakan penjelmaan dari Allah
Azza wa Jalla)
Imam as-Sakhawi
dalam kitab al
Jawahir wad Durar menceritakan tentang guru beliau al-Hafizh
Ibnu Hajar : Meskipun beliau merupakan lautan ilmu dan tidak cepat marah,
namun beliau akan sangat cepat marah kalau dalam membela agama Allah Ta’ala
dan Rasul-Nya.
Pernah suatu
ketika terjadi peristiwa antara beliau dengan sebagian pengagung Ibnu Arobi,
dia berdoa : Ya Allah, jika Ibnu Arobi berada di atas kesesatan, maka laknatlah
aku dengan laknat-Mu. Lalu Imam Ibnu Hajar pun berdoa pula : “Ya Allah, jika
Ibnu Arobi di atas kebenaran, maka laknatlah aku dengan laknat-Mu.”
Lalu apa yang
terjadi ?. Hanya selang dua bulan, tepatnya mubahalah tersebut terjadi pada
bulan Ramadhan tahun 797 H. Dan ternyata
pada bulan Dzulqa’dah orang tersebut (Ibnu Arobi) buta lalu mati.
Kedua : Seorang ahli hadits dari India, Syaikh Tsana’ullah al-Amritsari
(wafat 1367 H) pernah bermubahalah dengan Mirza Ghulam Ahmad al-Qadiyani, tokoh
utama, dari Ahmadiyah yang juga mengaku dirinya Nabi. Mubahalah ini terjadi pada
tahun 1326 H.
Inti dari
mubahalah ini adalah bahwa barang siapa di antara keduanya yang berdusta dan
berada di atas kebatilan, maka dia akan mati duluan dan terkena penyakit
kolera.
Akhirnya, belum
lewat waktu 14 bulan setelah
bermubahalah Mirza terkena penyakit kolera yang sangat parah. Kemudian
meninggal dunia, sedangkan Syaikh Tsana’ullah, beliau hidup setelah itu empat
puluh tahun lamanya.
Syaikh A. Hassan,
beliau disebut juga A. Hassan Bandung. (w. 1984) yakni SEORANG
ULAMA YANG GIGIH MEMBELA ISLAM, beliau
pernah beberapa kali menantang kaum Ahmadiyah untuk melakukan mubahalah.
Tapi pihak Ahmadiyah selalu menolak
ataupun tidak hadir dalam mubahalah tersebut.
Demikian sedikit uraian tentang mubahalah.
Insya Allah ada manfaatnya bagi kita semua. Wallahu A’lam. (1.234).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar