ADAKAH SIFAT MALU YANG TERCELA ?
Oleh : Azwir B. Chaniago
Sifat atau rasa malu hakikatnya
adalah baik. Sifat malu ini akan senantiasa mengajak seorang hamba untuk
berhias diri dengannya dan menjauhkan dirinya dari sifat sifat rendah serta
hina. Sungguh betapa banyak manusia yang jatuh harga dirinya ketika dia
mengabaikan sifat malu
Rasulullah bersabda : “Al hayaa’u laa ya’ti illa bi khairin”.
Malu itu tidak mendatangkan (sesuatu) kecuali kebaikan (Mutafaq ‘alaihi).
Imam Muslim meriwayatkan : “Al hayaa’u khairun kulluhu”. Malu itu
seluruhnya baik.
Seorang sahabat pernah mengecam
saudaranya dalam hal malu, seolah olah ia berkata kepada saudaranya : Sungguh
malu telah merugikanmu. Lalu Rasulullah bersabda : Da’huu fa innal hayaa’a minal iman”. Biarkan dia, karena malu
termasuk iman. (H.R Imam Bukhari).
Namun demikian seorang hamba
haruslah berhati hati karena ternyata ada juga sifat malu yang tercela.
Diantaranya adalah :
Pertama : Jika perasaan malu membuat seseorang sungkan melakukan ketaatan
maka itu tidak disebut dengan malu. Ini
adalah kelemahan atau perasaan rendah diri dan masuk kategori malu yang tercela
karena perasaan malu telah menghalanginya untuk memperoleh kebaikan.
Kedua : Jika
seseorang merasa malu belajar ilmu syar’i seperti belajar al Qur-an, tata cara
shalat yang benar karena umur sudah lanjut. Pada hal dalam melakukan kebaikan
tak ada kata terlambat.
Ketiga : Jika
seseorang malu menampilkan keislamannya seperti malu berpakaian yang islami
dan syar’i, malu berjilbab yang syar'i, malu memelihara jenggot.
Bahkan ada yang malu shalat ke masjid
karena tidak pernah atau sangat jarang dilakukan
dan yang lainnya, maka ini juga tercela. Sungguh bagi seorang muslim, tidak ada
istilah malu dalam ketaatan selama perbuatan itu sesuai dengan syariat.
Imam Mujahid mengingatkan : Tidak
akan mendapat ilmu orang yang malu dan orang yang sombong. (Atsar shahih,
diriwayatkan oleh Imam Bukhari).
Al Qadhi Iyadh berkata : Malu yang
menyebabkan seseorang menyia nyiakan berbagai hak (terutama hak Allah dan juga
hak makhluk-Nya, pen.) bukanlah termasuk malu yang disyariatkan. Bahkan ini
sebagai ketidak mampuan atau kelemahan (Fathul Bari).
Oleh karena itu seorang hamba haruslah
menjauhkan diri dari sifat malu yang tercela ini dan senantiasa menjaga sifat
malu yang disyariatkan.
Insya Allah ada manfaatnya bagi kita semua. Wallahu
A’lam. (1.226).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar