Sabtu, 26 Agustus 2017

ADAKAH BEKAS DARI SEMANGAT BERIBADAH BULAN RAMADHAN ??



ADAKAH BEKAS DARI SEMANGAT BERIBADAH 
BULAN RAMADHAN ?

Oleh : Azwir B. Chaniago

Setiap tahun Allah mendatangkan kepada kita satu bulan yang penuh berkah yaitu bulan Ramadhan. Disebut  bulan berkah karena Nabi yang menjelaskan melalui sabda  beliau : “Ataakum syahrul mubbarrak”. Telah datang kepada kalian bulan yang penuh berkah. (H.R Imam Ahmad, an Nasa’i da al Baihaqi).

Berkah artinya memiliki kebaikan yang banyak dan kebaikan itu terus menerus ada.
Bahkan pahala amal dilipat gandakan. Imam Ibnu Rajab al Hambali berkata : Sebagaimana pahala amalan puasa akan berlipat lipat dibanding amalan lainnya maka puasa di bulan Ramadhan lebih berlipat pahalanya dibanding puasa di bulan lainnya. Ini semua bisa terjadi karena muliannya bulan Ramadhan dan puasa yang dilakukan adalah puasa yang diwajibkan oleh Allah Ta’ala kepada hamba hamba-Nya. Allah pun menjadikan puasa di bulan Ramadhan sebagai bagian dari rukun Islam, tiang penegak Islam. (Lathaif al Ma’aarif).
  
Selain itu, tersedia satu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Allah berfirman : “Innaa anzalnaahu fii lailatil qadr. Wa maa adraaka maa lailatul qadr. Lailatul qadri khairum min alfi syahr”. Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al Qur an) pada malam. Dan tahukah kamu malam kemuliaan itu ?. Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. (Q.S al Qadr 1-3).

Nah, kalau kita perhatikan semangat kaum muslimin beribadah di bulan Ramadhan sangatlah membesarkan hati. Berbagai ibadah telah dilakukan, diantaranya : (1) Shaum Ramadhan yang diwajibkan. (2) Shalat lail di bulan ramadhan yakni shalat taraweh yang umumnya kita lakukan bersama imam di masjid. (3) Membaca dan mempelajari al Qur an. (4) Menghadiri majlis majlis ilmu. (5) Banyak berdzikir khususnya beristighfar. (5) Senantiasa bersemangat mendatangi masjid (6) I’tikaf dan ibadah ibadah lainnya yang bermanfaat.

Kesimpulannya adalah bahwa selama Ramadhan kita : (1) Mampu berlaku ikhlas dalam beribadah, khususnya ibadah shaum yang punya potensi kuat untuk ikhlas dalam ibadah ini. (2) Mampu menahan diri dari yang halal apalagi dari yang haram. (3) Mampu melakukan lebih banyak ibadah dari sebelumnya. (4) Bahkan kita mampu bergadang pada 10 hari terakhir demi mendapatkan lailatul qadar.

Lalu datang pertanyaan : Seusai Ramadhan  masih adakah bekas dari semangat beribadah kita di bulan Ramadhan ?. Padahal di bulan Ramadhan (ibarat latihan) kita telah melakukan berbagai ibadah selama satu bulan penuh. Bukan satu atau dua hari.
Oleh karena itu mari kita koreksi diri apakah semangat beribadah kita di bulan Ramadhan  saja. Kalau jawabannya iya dan memang semangat ibadah kita kendor maka itu adalah suatu yang tak pantas dilakukan oleh seorang hamba Allah.

Ketahuilah saudaraku bahwa Rabb kita di bulan Ramadhan dan di luar Ramadhan adalah Rabb yang satu. Nikmat dan rizki yang diberikan Allah kepada kita datang terus menerus apakah bulan Ramadhan atau bulan selainnya. Oleh sebab itu tidaklah pas kalau semangat kita beribadah hanya di bulan Ramadhan saja dan bulan yang lain kita abaikan.
Selain itu perlu diketahui pula bahwa kewajiban beribadah  tidaklah pernah gugur terhadap seorang mukallaf baik di bulan Ramadhan maupun di bulan selainnya.

Sungguh seorang hamba memiliki kewajiban untuk beribadah kepada Allah   semenjak dia baligh sampai ajal menjemputnya. Allah Ta’ala telah mengingatkan dalam firman-Nya : “Wa’bud rabbaka hattaa ya’tiyal yaqiin”. Dan beribadahlah kepada Rabb-mu  sampai datang kepadamu yang diyakini  (yaitu ajal). Q.S al Hijr 99.

Oleh karena itu mari kita bangun kembali semangat beribadah diluar bulan Ramadhan ini sebagaimana yang telah pernah  kita lakukan pada bulan Ramadhan. Insya Allah ada manfaatnya bagi kita semua. Wallahu A’lam. (1.104).

Jumat, 25 Agustus 2017

ADA KEWAJIBAN MEMBERI NASEHAT SESAMA MUSLIM



ADA KEWAJIBAN UNTUK MEMBERI NASEHAT SESAMA MUSLIM

Oleh : Azwir B. Chaniago

Di antara bentuk kewajiban yang harus  ditunaikan oleh setiap muslim adalah memberikan nasehat kepada saudaranya sesama muslim sesuai kesempatan dan kemampuannya. 

Lalu apa makna nasehat ?. Imam al Khathabi dan Imam al Jurri berkata : Nasehat adalah menghendaki suatu kebaikan bagi orang lain dengan niat ikhlas (karena Allah), baik berupa perbuatan atau kehendak yang disampaikan dengan cara sebijak mungkin.

Jadi kata kunci dalam memberi nasehat adalah (1) Niat ikhlas karena Allah semata (2) Disampaikan dengan cara sebijak mungkin. Ketahuilah, kalau dua kata kunci ini diabaikan besar kemungkinan nasehat yang disampaikan tidak akan bermanfaat.

Maka sudah semestinya setiap muslim bersemangat untuk menunaikan nasehat kepada sesama saudaranya demi terjaganya iman di dalam dirinya dan demi kebaikan saudaranya.

Diantara dalil yang menunjukkan kewajiban memberi nasehat adalah hadits berikut ini :
Pertama : Dari  Jarir bin Abdillah radhiyallahu’anhu, dia berkata: “Aku berbai’at kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk senantiasa mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan nasehat (menghendaki kebaikan) bagi setiap muslim.” (H.R Imam Bukhari dan Imam Muslim)

Kedua : Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Kewajiban seorang muslim atas muslim yang lain ada enam.” Lalu ada yang bertanya,“Apa itu ya Rasulullah.” Maka beliau menjawab, “Apabila kamu bertemu dengannya maka ucapkanlah salam kepadanya, apabila dia mengundangmu maka penuhilah undangannya, apabila dia meminta nasehat kepadamu maka berilah nasehat kepadanya, apabila dia bersin lalu memuji Allah maka doakanlah dia -dengan bacaan yarhamukallah-, apabila dia sakit maka jenguklah dia, dan apabila dia meninggal maka iringilah jenazahnya.” (H.R Imam Muslim)

Imam an Nawawi rahimahullah berkata 
: “Maknanya : apabila dia meminta nasehat darimu, maka wajib bagimu untuk menasehatinya, jangan hanya mencari muka di hadapannya, jangan pula menipunya, dan janganlah kamu menahan diri untuk menerangkan nasehat kepadanya.” (Lihat Syarah Shahih Muslim)

Dalam hal memberi nasehat, terkadang kita menyaksikan ada  yang memberi nasehat tapi tidak mendatangkan manfaat bahkan tidak diterima oleh yang dinasehati. Dalam keadaan ini jangan cepat cepat menyalahkan mereka.

Pemberi nasehat haruslah lebih dahulu memeriksa dirinya apakah dia sudah memberi nasehat karena Allah dan keluar dari hatinya yang tulus dan untuk berbuat baik kepada yang dinasehati. Sungguh sesuatu yang datang betul betul dari hati akan mudah diterima hati.

Ibnu Mubarak menceritakan bahwa Hamdan bin Ahmad pernah ditanya : Mengapa ucapan atau nasehat ulama ulama terdahulu lebih bermanfaat dari ucapan kita. Dijawab : Karena mereka memberi nasehat untuk kemuliaan Islam, keselamatan dan keridhaan ar Rahman. Sedangkan kita memberi nasehat untuk kemuliaan diri kita, mencari dunia dan mencari keridhaan manusia (Kitab Shifatush Shafwah). 

Diantara keutamaan dan manfaat dalam memberi nasehat adalah dia akan mendapat pahala sebanyak pahala orang yang mengikuti atau mengamalkan nasehatnya.

Rasulullah bersabda : “Man da’aa ila hudan kaana lahu minal ajri mitslu ujuuri, man tabi’ahu laa yanqushu dzalika min ujuurihim syai-an, waman da-aa ila dhalaalatin kaana ‘alaihi minal itsmi mitslu aatsaami man tabi’ahu laa yanqushu dzalika min aatsaamihim syai-an” Barang siapa mengajak kepada kebaikan  maka ia akan mendapat pahala sebanyak pahala yang diperoleh orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun.  Barang siapa mengajak kepada kesesatan, maka ia akan mendapat dosa sebanyak yang diperoleh orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun.(H.R Imam Muslim)

Oleh karena itu  jika keadaan membutuhkan berilah nasehat dengan berulang ulang. Jangan pernah bosan apalagi putus asa dalam memberi nasehat. Jangan merasa sedih ketika nasehat diabaikan, tak diterima apalagi diamalkan.    Allah berfirman : “Wa dzakkir fainna dzikraa tanfa’ul mu’miniin” Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang orang yang beriman. (Q.S adz Dzaariyaat 55).  

Insya Allah ada manfaatnya bagi kita semua. Wallahu A’lam. (1.103)

Rabu, 23 Agustus 2017

ORANG MUSLIM JANGAN PERNAH BERHENTI BELAJAR



ORANG MUSLIM JANGAN PERNAH BERHENTI BELAJAR

Oleh : Azwir B. Chaniago

Sungguh, belajar ilmu adalah wajib bagi setiap Muslim. Sangatlah banyak petunjuk atau perintah syariat agar orang muslim selalu belajar khususnya ilmu syar’i dan juga ilmu ilmu ilmu lain yang bermanfaat bagi kaum muslimin. Rasulullah salallahu alaihi wassalam bersabda : “Thalibul ‘ilmi faridhatun ‘ala kulli muslim.” Menuntut ‘ilmu wajib bagi setiap Muslim (laki-laki dan perempuan). H.R. Ibnu Majah.

Diantara pakar bahasa Arab mengatakan bahwa kata fardhu maknanya adalah wajib. Dalam hadits ini disebut faridhatun yang maknanya sangat atau lebih wajib. Ini adalah salah satu dalil yang tegas tentang wajibnya belajar bagi seorang muslim baik laki laki maupun perempuan.

Diantara keutamaan belajar ilmu adalah memudahkan jalan menuju surga. Rasulullah bersabda : “Waman salaka thariiqan yaltamisu fiihi ‘ilman, sahhalallahu lahu bihi thariiqan ilal jannah.” Dan barang siapa menempuh jalan untuk menuntut ilmu maka Allah mudahkan jalan baginya menuju Surga. (H.R Imam Muslim, dari Abu Hurairah). 
 
Sungguh saat ini sangatlah banyak sarana atau media yang memudahkan kita untuk belajar ilmu. Bisa melalui lembaga pendidikan formal, non formal atau melalui berbagai media yang tersedia baik buku, majalah, cd-vcd,  medsos seperti WA, SMS Twitter  dan   banyak lagi yang lainnya.

Jadi masalah belajar belajar saat ini bukan terletak pada perkara sarana ataupun materi pelajaran tapi masalahnya ada pada semangat dan kemauan serta pengaturan waktu untuk belajar. Bahkan saat ini majlis ilmu selalu ada setiap hari. Dan ketahuilah bahwa  cara terbaik dan paling utama dalam belajar adalah duduk di majlis ilmu, dihadapan guru.

Memang dalam belajar ilmu khususnya ilmu syar’i akan banyak ditemukan penghalang. Penghalang itu bisa ada diluar diri seseorang  ataupun pada dirinya sendiri. Diantara penghalang yang ada pada diri seseorang dalam belajar ilmu adalah adanya dua sifat  buruk  yaitu sifat malu  dan sifat sombong.

Imam Mujahid bin Jabr, seorang Tabi’in, murid Ibnu Abbas (wafat 104 H) berkata : Tidak akan mendapatkan ilmu orang yang malu dan orang yang sombong (Atsar shahih riwayat Imam Bukhari).

Pertama : Jika seseorang ingin belajar membaca al Qur an tapi malu karena sudah tua baru mulai belajar maka dia akan bodoh terus dalam membaca al Qur an.  Rasa malu telah menghalanginya. Diantara contoh lainnya adalah seorang yang sudah berusia lanjut lalu merasa malu menghadiri majlis ilmu yang jamaahnya sebagian besar adalah orang orang muda. Akibatnya dia kehilangan kesempatan untuk mendapat ilmu dan pahala yang besar.

Kedua : Jika seseorang menganggap dirinya sudah punya banyak ilmu, timbul rasa sombong, maka ilmunya tidak akan bertambah. Rasa sombong telah menghalanginya untuk belajar. Pada hal mungkin ilmunya masih sangat sedikit tetapi merasa sudah memiliki ilmu yang sangat banyak.  Keadaan ini memang agak sering menghinggapi sebagian orang, kecuali yang Allah berikan taufik. 

Sekarang tinggal kita bertanya kepada diri masing masing, masih adakah semangat atau kemauan  untuk belajar. Mungkin ada diantara saudara kita yang berkata : Saya sudah puas belajar. Saya sudah banyak tahu sehingga tidak perlu lagi belajar. Saya sudah memiliki ijazah dan sertifikat ini dan itu. Bahkan ada yang berkata, saya sudah bosan belajar. Umur saya sudah lanjut dan beratus alasan lainnya. Bisa jadi alasan alasan ini adalah bagian dari tipu daya syaithan kepada kita.

Ketahuilah bahwa orang bijak berkata : BERHENTILAH BELAJAR JIKA SUDAH ADA YANG MENGATAKAN BAHWA ORANG BODOH LEBIH BAIK DARI ORANG BERILMU.

Semoga Allah memberi taufik kepada kita semua untuk senantiasa belajar sampai kapanpun selagi mampu. Insya Allah. (1.102).

Selasa, 22 Agustus 2017

MENYEBUT NYEBUT NIKMAT ADALAH TANDA BERSYUKUR



MENYEBUT NYEBUT NIKMAT ADALAH  TANDA BERSYUKUR

Oleh : Azwir B. Chaniago

Orang  beriman wajib meyakini bahwa semua nikmat adalah dari Allah karena memang demikianlah adanya. Sungguh Allah Ta’ala berfirman : “Wa maa bikum min ni’matii fa minallahi”.  Dan segala nikmat yang ada padamu (datangnya) dari Allah. (Q.S an Nahl 53

Kewajiban kita adalah bersyukur atau berterima kasih kepada Pemberi Nikmat. Bahkan syukur kita adalah sarana atau jalan  untuk mendapatkan tambahannya. Allah berfirman : Dan (ingatlah) ketika Rabb-mu memaklumkan : Sesungguhnya jika kamu bersyukur niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku) maka pasti adzab-Ku sangat berat”. (Q.S Ibrahim 7). 

Imam Ibnu Mas’ud berkata : “Adapun manfaat bersyukur adalah untuk mempertahankan nikmat yang telah ada dan untuk mendapatkan tambahannya.” Maksudnya adalah jika kita bersyukur maka nikmat yang telah ada pada kita tidak akan diambil. Kalaupun diambil akan diberikan ganti yang lebih baik. Dan nikmat yang baru sebagai tambahan akan diberikan pula, baik  jenis dan jumlahnya secara fisik   ataupun berkahnya yang akan ditambah.

Sungguh sangatlah banyak cara untuk bersyukur. Utama sekali adalah dengan menggunakan nikmat nikmat itu sebagai sarana beribadah, mengabdi dan mencari ridha-Nya. Diantara cara bersyukur juga adalah dengan MENYEBUT NYEBUT NIKMAT ITU. 

Memang kita menyaksikan bahwa ada diantara manusia yang ketika mendapat nikmat diam bahkan menyembunyikannya. Lalu giliran dapat musibah sedikit saja maka dia bicara dan mengeluh kesana kemari. Sikap seperti ini tentulah tidak baik untuk dipelihara. 

Sungguh Allah Ta’ala mengingat tentang menyebut nyebut nikmat sebagaimana firman-Nya : “Wa ammaa bi ni’matika fa haddits”. Dan terhadap nikmat (dari) Rabb-mu hendaklah engkau sebut sebut (Q.S ad Duhaa 11).

Berdasarkan ayat ini, dahulu para sahabat beranggapan bahwa termasuk kesempurnaan sikap syukur seseorang atas suatu kenikmatan adalah dengan menyebut nyebutnya. (Lihat Faidhul Qadir).

Ketahuilah bahwa dahulu Rasulullah Salallahu ‘alaihi wasallam menceritakan kepada sahabat sahabat beliau beberapa kenikmatan besar yang telah beliau peroleh. Diantaranya adalah sebagaimana disebutkan dalam sabda beliau :

Pertama : “Aku adalah pemimpin anak keturunan Adam, dan tiada berbangga banggaan”.  (H.R Imam Ahmad dan yang lainnya).

Kedua : “Aku dikaruniai lima hal yang tidak pernah diberikan kepada seorang nabipun sebelumku : Aku ditolong dengan dicampakkannya rasa takut pada musuh musuhku sejak aku masih berjarak perjalanan satu bulan dari mereka. Bumi dijadikan bagiku sebagai tempat shalat (masjid) dan juga alat bersuci maka dari itu, barangsiapa dari umatku yang mendapatkan shalat, maka hendaknya ia segera mendirikannya (dimanapun ia berada, pen.), rampasan perang dihalalkan untukku, padahal sebelumku tidak pernah dihalalkan untuk seorang nabipun, aku dikaruniai syafaat (kubra) dan nabi nabi sebelumku senantiasa diutus kepada kaumnya saja sedangkan aku diutus kepada seluruh umat manusia. (Muttafaqun ‘alaih).

Jadi ketika mendapat nikmat kita boleh menyebut nyebutnya sebagai bagian dari tanda bersyukur atas nikmat itu. Cuma ada yang perlu dijaga ketika menyebut nyebutnya kepada orang lain : (1) Janganlah dalam rangka berbangga diri dan (2) Juga harus harus dijaga agar tidak mendatangkan hasad atau fitnah bagi yang mendengarnya.

Insya Allah ada manfaatnya bagi kita semua. Wallahu A’lam. (1.101).