MEMAAFKAN LEBIH UTAMA
Oleh: Azwir B. Chaniago
Oleh: Azwir B. Chaniago
Dan janganlah orang-orang yang mempunyai
kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan
memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan
orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka mema'afkan
dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? dan Allah
adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (Q.S an Nuur 22 ).
Dalam kehidupan bermasyarakat,
disengaja atau tidak setiap diri kita banyak berbuat salah. Jika seseorang yang
bersalah kepada orang lain pastilah ingin agar kesalahannya dimaafkan. Begitu
juga jika seseorang berbuat salah atau menzhalimi diri kita maka Islam
mengajarkan untuk senantiasa memaafkan dan
ini adalah sikap yang mulia.
Makna memaafkan.
Makna memaafkan adalah engkau
mempunyai hak untuk membalas terhadap orang lain yang menzhalimi dirimu tetapi
engkau melepaskan (hakmu itu), tidak menuntut qishash atau denda kepadamya
(Minhajul Qashidin, Imam Ibnu Qudamah). Orang bijak berkata bahwa implementasi
dari memaafkan itu adalah engkau senantiasa, terus menerus mengosongkan hatimu
dari semua kesalahan orang lain kepadamu. Ini sebenarnya mudah dilakukan jika
engkau menyadari dan juga sangat mengharapkan
maaf dan ridhanya. Imam Raghib Ashbahani berkata : Suka memaafkan adalah bagian
dari sikap santun. Orang yang santun adalah ketika dizhalimi dia bersikap
santun dan ketika dia mampu membalasnya dia malah memaafkan.
Sunnatullah senantiasa berlaku.
Sungguh tidak ada yang meragukan bahwa
jika seseorang suka memaafkan akan mudah dimaafkan, suka menolong akan
ditolong, suka menyayangi akan disayangi dan suka memberi akan diberi. Bukankah
dalam kehidupan sehari hari, keadaan ini sangat lumrah dan sering kita saksikan.
Misalkan ada seseorang yang biasa
memudahkan urusan orang lain maka selalu saja ada kemudahan dan jalan keluar
baginya jika suatu waktu dia mendapat kesulitan atau menghadapi suatu masalah
yang berat.
Allah subhanahu wa Ta’ala berfirman
: In ahsantum ahsantum li anfusikum. Jika kamu berbuat kebaikan maka
(berarti) kamu berbuat kebaikan bagi dirimu sendiri. (Q.S al Israa’ 7). Allah Ta’ala
juga berfirman : “Hal jazaa-ul ihsani illal ihsan” Balasan perbuatan
baik adalah kebaikan pula (Q.S ar Rahman 60).
Sikap dalam memaafkan.
Tidak diragukan sedikitpun bahwa
memberi maaf adalah sikap yang sangat terpuji dalam Islam. Oleh karenanya,
memberi maaf, harus dilakukan dengan cara atau sikap yang terpuji pula agar
mendatangkan manfaat yang lebih besar. Ada beberapa sikap atau adab dalam memaafkan,
diantaranya adalah (1) Berilah maaf dengan ikhlas dan mengharapkan ampunan
Allah. (2) Berilah maaf diminta atau tidak. (3) Berilah maaf dengan
menghadirkan hati, dan dengan cara yang baik, tidak sekenanya saja. (4) Berilah
maaf kapanpun dan di manapun, dengan terang terangan atau sembunyi. (5) Berilah
maaf sesegera mungkin, jangan menunggu waktu atau event tertentu. (6) Berilah
maaf, lalu lupakan kesalahannya jangan diungkit ungkit lagi. Jangan pakai
ungkapan forgiven but not forgotten, dimaafkan tapi tidak dilupakan
(kesalahannya).
Keutamaan memaafkan.
Pertama :
Seseorang yang suka memberi maaf akan senantiasa memperoleh ampunan Allah.
Inilah puncak keutamaan dari sikap suka memaafkan. Allah berfirman : “Wal
ya’fuu wal yashfahuu, alaa tuhibbuuna an yaghfirallaahu lakum wallaahu
ghafuurur rahiim. Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada.
Apakah kamu tidak menginginkan Allah mengampunimu dan Allah Mahapengampun dan
Mahapenyayang (Q.S an Nuur 22). Dalam kitab Tafsir al Mulyasar, tahqiq Syaikh
Bakar Abu Zaid antara lain dijelaskan : Ayat ini turun berkenaan dengan sumpah
Abu Bakar ash Shiddiq bahwa dia tidak akan memberi apa apa lagi (tidak akan
membantu lagi) kepada kerabatnya (diantaranya adalah Misthah bin Utsasah)
ataupun orang lain yang terlibat dalam menyiarkan dan menyebarkan berita bohong
tentang fitnah yang keji yang ditujukan kepada Aisyah putri beliau. Maka
turunlah ayat ini melarang beliau melaksanakan sumpahnya itu, menyuruh memaafkan dan berlapang dada
terhadap mereka. Syaikh as Sa’di
menjelaskan bahwa ketika Abu Bakar mendengar ayat ini, Abu Bakar berkata
: Ya demi Allah, sungguh aku benar benar senang bila Allah mengampuni diriku.
Selanjutnya Abu Bakar kembali memberikan nafkah kepada Misthah bin Utsasah
(Lihat Tafsir Karimur Rahman). Oleh karena itu jika setiap saat kita
mengharapkan ampunan Allah maka
seharusnya kita juga senantiasa memaafkan orang lain. Sungguh kita
sangat senang dengan ampunan Allah dan tentu sepantasnya pula kita melazimkan
sikap suka memaafkan
.
.
Kedua : Sungguh
suka memaafkan adalah salah satu tanda orang bertakwa. Setiap muslim tentu
sangat ingin menjadi orang yang bertakwa karena main goal dari kehidupan
seorang muslim adalah mendapat surga dan surga hanya disediakan buat orang
orang yang bertakwa. Allah berfirman : “Alladzina yunfiquuna fissaraa-i
wadhdharraa-i wal kaazhiminal ghaizha, wal ‘aafiina ‘aninnaasi wallaahu yuhibbul
muhsiniin”. (Orang orang yang bertakwa adalah) Orang orang yang berinfak
baik di waktu lapang maupun di waktu sempit dan orang orang yang menahan
amarahnya dan memaafkan (kesalahan) manusia. Dan Allah mencintai orang
orang yang berbuat baik (Q.S Ali Imran 134). Syaikh as Sa’di dalam Kitab Tafsir
beliau, antara lain menjelaskan : Bahwa termasuk dalam tindakan memaafkan orang
lain adalah memaafkan segala hal yang terjadi dari orang yang berbuat buruk
kepada kita baik dengan perkataan maupun perbuatan. Selanjutnya Syaikh as Sa’di
menambahkan bahwa memaafkan itu sangat lebih baik daripada hanya sekedar
menahan marah karena memaafkan itu adalah membalas dengan bentuk kelapangan
dada terhadap orang orang yang berbuat buruk
.
.
Ketiga : Memaafkan
adalah perbuatan mulia. Pada asalnya semua orang ingin menjadi manusia yang
mulia. Untuk mendapatkannya manusia rela
mengorbankan harta dan tenaga. Terkadang dengan cara yang tercela. Sungguh dalam
syari’at Islam sangatlah banyak jalan untuk mendapatkan kemuliaan. Salah satunya adalah dengan senantiasa
memaafkan kesalahan orang lain. Ini adalah sebagaimana yang difirmankan Allah
dalam surat asy Syuura ayat 43 : Walaman shabara wa ghafara, inna dzaalika lamin
‘azmil umuur” Dan barangsiapa yang bersabar dan memaafkan sungguh yang
demikian itu termasuk perbuatan mulia. Rasulullah salallahu ‘alaihi wasallam
bersabda : …Wama zadallahu ‘abdan bi’afwin illa ‘izza. Wama nawadha’a ahadun
lillahi illa ra’ahullah… Allah tidak akan menambah untuk seorang hamba karena
maafnya (suka memaafkan) kecuali kemuliaan. Dan tidaklah seorang merendahkan
hatinya kecuali Allah akan meninggikan (derajat) nya. (H.R Imam Muslim).
Sungguh ayat dan hadits ini merupakan kabar gembira bagi orang orang yang suka memaafkan yaitu berupa janji Allah dan Rasul-Nya bahwa orang yang suka memaafkan akan memperoleh sesuatu yang sangat berharga bagi dirinya yaitu kemuliaan. Kemuliaan di sisi Allah kemulian di sisi manusia. Kemuliaan di dunia dan kemuliaan di akhirat
.
Sungguh ayat dan hadits ini merupakan kabar gembira bagi orang orang yang suka memaafkan yaitu berupa janji Allah dan Rasul-Nya bahwa orang yang suka memaafkan akan memperoleh sesuatu yang sangat berharga bagi dirinya yaitu kemuliaan. Kemuliaan di sisi Allah kemulian di sisi manusia. Kemuliaan di dunia dan kemuliaan di akhirat
.
Satu hal yang kiranya perlu kita
pahami adalah bahwa bersabar dan menjadi pemaaf tidaklah sesuatu yang mudah.
Sungguh berat di hati. Betapa tidak karena seseorang yang dizhalimi orang lain,
kecenderungannya adalah membalas kalau perlu dengan balasan yang lebih. Apalagi
jika yang dizhalimi punya kemampuan untuk membalas. Biasanya yang dikedepankan
adalah bagaimana membalas bukan bagaimana memaafkan. Tapi bagi orang orang yang
Allah beri petunjuk tentu tidaklah merupakan suatu yang sulit baginya untuk
memaafkan orang lain yang telah berbuat buruk kepadanya. Kita bermohon kiranya
Allah akan membuka hati kita untuk selalu melazimkan sifat pemaaf dan kita
bermohon pula agar dosa dosa kita diampuni-Nya.
Allahu a’lam. (002)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar